Senin, 23 Februari 2009


A'uudzubillaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillaahir rahmaanir rahiim
Wash-shalaatu was-salaamu 'alaa asyrafil anbiyaai wal mursaliin, Sayyidinaa Muhammadiw wa 'alaa aalihi wa Shahbihi ajma'iin


Encyclopaedia of Islamic Doctrine Vol 5: Self-Purification and the State of Excellence , Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani ar-Rabbani qs



Hujjatul Islam Imam al-Ghazali (w. 505 H.)

Hujjatul Islam, Abu Hamid al-Tusi al-Ghazali adalah orang yang membangkitkan kembali pemikiran Islam pada abad ke-5 H., seorang ahli ushul fikih, dan penulis kitab tasawuf paling terkenal yaitu Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn (Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama). Dalam otobiografinya, al-Munqizh min al-Dhalâl (Pembangkit dari Kesesatan), ia mengatakan,

Tasawuf adalah menyucikan hati dari apa saja selain Allah… Aku simpulkan bahwa kaum sufi adalah para pencari di Jalan Allah, dan perilaku mereka adalah perilaku yang terbaik, jalan mereka adalah jalan yang terbaik, dan pola hidup mereka adalah pola hidup yang paling tersucikan. Mereka telah membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah dan menjadikannya sebagai saluran tempat mengalirnya sungai-sungai yang membawa ilmu-ilmu dari Allah.

Seperti disebutkan oleh Ibn Ajibah dalam kitabnya, Îqâzh al-Himam, al-Ghazali menyatakan secara terbuka bahwa tasawuf merupakan fardu ain atas setiap muslim dan muslimah yang telah mukalaf, “karena, selain para nabi, tak ada seorang pun yang sama sekali terbebas dari kerusakan dan penyakit rohani.”

Berikut ini adalah terjemahan dari beberapa bagian kitab Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, yang meliputi:
1. Ulasan terhadap beberapa definisi di awal Kitâb Syarh ‘Ajâ’ib al-Qalb (Kitab Penjelasan tentang Keajaiban Hati)
2. Bab berjudul, “Tentara-Tentara Hati” dalam kitab yang sama.
3. Bab berjudul, “Penguasaan Setan atas Hati melalui Bisikan (al-waswas)” dalam kitab yang sama.
4. Bab berjudul, “Bukti-bukti …” dari Kitâb Riyâdhâh al-Nafs wa Tahdzîb al-Akhlâq wa Mu‘âlajât Amrâdh al-Qalb (Kitab tentang Melatih Ego, Disiplin Akhlak, dan Pengobatan Penyakit Hati).

Ada dua arti nafs: pertama, kata ini bermakna kekuatan amarah dan hasrat seksual manusia… dan arti inilah yang sering dipergunakan di kalangan sufi, yang mempergunakan kata nafs untuk menyebut berbagai sifat buruk seseorang. Karena itulah mereka berkata, “Orang harus memerangi ego dan menghancurkannya, sesuai dengan hadis Nabi saw., a‘dâ ‘aduwwika nafsaka al-latî bayna janibayk—“Musuhmu yang paling buruk adalah egomu yang terletak di antara kedua sisi tubuhmu.” Hadis ini dapat ditemukan dalam Kitâb al-Zuhd (Kitab tentang Zuhud) karya al-Baihaqi.
Kedua, kata nafs berarti jiwa, atau hakikat manusia, dirinya dan pribadinya. Meski demikian, nafs dapat dikategorikan ke dalam beberapa kategori yang berbeda sesuai dengan keadaannya. Jika ia tenang di bawah perintah dan telah bersih dari segala gejolak nafsu maka ia disebut al-nafs al-muthma’innah (jiwa yang tenang) . . . Dalam pengertian yang pertama (amarah dan hasrat seksual), nafs tidak mempertimbangkan akan kembali kepada Allah karena ia jauh dari-Nya; nafs sejenis ini termasuk dalam golongan setan. Nafs yang tidak mencapai ketenangan, namun berusaha melawan kecintaan pada hawa nafsu dan mencelanya, ia disebut al-nafs al-lawwâmah (jiwa yang mencela-diri) . Ia mencela pemilik nafs yang lalai beribadah kepada tuannya… Apabila ia menghentikan celaan dan perlawanannya, kemudian sepenuhnya menaati panggilan hawa nafsu dan setan, ia disebut al-nafs al-ammârah bi al-sû’i (jiwa yang menyuruh kepada keburukan)… Jiwa semacam ini dapat dikategorikan ke dalam pengertian yang pertama…
Allah memiliki pasukan bersenjata yang Dia tempatkan dalam hati dan jiwa dan di tempat-tempat lainnya di dunia-Nya. Tak seorang pun yang mengetahui sifat sejati dan jumlah tepatnya mereka kecuali Dia … [Al-Ghazali kemudian menerangkan bahwa anggota tubuh, panca indra, kehendak, insting, serta kekuatan emosi dan intelek termasuk pasukan-Nya ini.] Ketahuilah bahwa dua dari pasukan itu, yakni amarah dan hasrat seksual, dapat dibimbing sepenuhnya oleh hati… atau sebaliknya, sepenuhnya melawan dan memberontak, bahkan memperbudak hati. Pada saat itulah terjadi kematian hati dan akhir perjalanan menuju kebahagiaan abadi. Hati punya tentara-tentara lain, termasuk pengetahuan (‘ilm), kebijakan (hikmah), dan perenungan atau refleksi (tafakkur) yang bantuannya sangat diharapkan oleh hati, karena mereka itu termasuk Golongan Allah yang melawan kedua tentara golongan setan …
Allah berfirman, “Apakah kamu tidak melihat orang yang memilih hawa nafsunya sendiri sebagai tuhannya?” (Q.S. al-Furqân [25]: 43), dan “Ia mengikuti hawa nafsunya sendiri. Karena itu, perumpamaan mereka adalah seperti anjing; apabila kamu mengusirnya, ia akan menjulurkan lidahnya dan apabila kamu biarkan, ia pun akan menjulurkan lidahnya” (Q.S. al-A‘râf [7]: 176) dan mengenai orang yang mengendalikan dorongan nafsunya, Allah berfirman, “Dan adapun orang yang takut berdiri di hadapan Tuhannya dan mencegah jiwanya dari hawa nafsunya, sesungguhnya surga akan menjadi tempat tinggalnya” (Q.S. al-Nâzi’ât [79]: 40–41).
Ketahuilah, tubuh itu seperti sebuah kerajaan, dan akal adalah rajanya. Semua kekuatan, lahir maupun batin, adalah tentara dan pembantunya. Ego yang bergabung dengan kejahatan (nafs ammârah), yaitu nafsu dan amarah, adalah ibarat pemberontak yang membuat kerusakan di kerajaan dan berusaha membantai penduduknya. Karena itu, tubuh menjadi seperti pos garnizun atau pos pasukan terdepan, dan jiwa seperti petugas penjaga yang ditempatkan di sana . Apabila ia berperang melawan musuh-musuhnya, mengalahkan dan memaksa mereka mengikuti perintahnya, ia akan mendapat pujian tatkala kembali ke Hadirat Allah, sebagaimana firman-Nya, “Allah telah menganugerahkan derajat lebih tinggi kepada orang-orang yang berjuang dengan harta dan jiwanya di atas orang-orang yang duduk berdiam” (Q.S. al-Nisâ’ [4]: 95)
Ada dua jenis pikiran yang menggerakkan keinginan seseorang, yaitu pikiran yang terpuji, yang disebut ilhâm, dan pikiran yang tercela, yang disebut waswas (bisikan). Hati menjadi ajang perebutan antara kekuatan setan dan kekuatan malaikat… Malaikat merupakan makhluk yang telah diciptakan Allah untuk menyebarkan kebaikan, memberikan ilmu, menyingkap kebenaran, menjanjikan pahala, dan menyuruh kepada kebaikan… Sedangkan setan adalah makhluk yang pekerjaannya melawan semua ini … Waswâs melawan ilhâm, kekuatan setan melawan kekuatan malaikat, dan taufîq (keberhasilan) melawan khidzlân (kekecewaan) .
Nabi saw. bersabda, “ Ada dua dorongan dalam jiwa, yaitu dorongan dari malaikat yang mengajak kepada kebaikan dan mengokohkan kebenaran. Siapa saja yang mendapatkannya, hendaklah ia mengetahui bahwa itu berasal dari Allah dan hendaklah ia memuji kepada-Nya. Dorongan lain berasal dari musuh yang menggiring kepada keraguan, mengingkari kebenaran, dan melarang kebaikan; siapa saja yang mendapatkannya, hendaklah ia meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” Kemudian al-Ghazali membaca ayat, “Setan membangkitkan rasa takut akan kemiskinan dan mengajakmu bergabung dalam kejahatan” (Q.S. al-Baqarah [2]: 268).
Nabi saw. bersabda, “Tidak ada seorang pun di antara kalian yang bersih dari dorongan setan.” Mereka berkata, “Bahkan engkau juga, wahai Rasulullah saw?” Beliau berkata, “Bahkan diriku juga, tetapi Allah membantuku untuk menguasainya dan ia telah tunduk patuh kepadaku sehingga ia tidak menyuruhku selain kepada kebaikan” Perseteruan antara tentara malaikat dan setan berjalan terus-menerus untuk menguasai hati hingga hati ditundukkan oleh salah satu dari keduanya, yang kemudian menguasai penduduknya dan bercokol di sana … Sayangnya, kebanyakan hati dikepung oleh tentara setan, yang mencekokkan berbagai bisikan yang mengajak manusia untuk mencintai dunia yang fana ini dan mengabaikan hari akhirat.
Nabi saw. bersabda, “Pejuang sejati adalah orang yang berjuang melawan egonya untuk menaati Allah” (al-mujâhidu man jâhada nafsahû fî thâ’atillâh.)…. Sufyan al-Tsauri berkata, “Aku tidak pernah melawan sesuatu yang lebih kuat daripada egoku sendiri; kadang ia bersamaku, dan kadang melawanku….” Yahya ibn Muadz al-Razi berkata, “Perangilah egomu dengan empat bilah pedang: sedikit makan, sedikit tidur, sedikit bicara, dan sabar ketika seseorang menjahatimu. .. Dengan begitu, egomu akan menapaki jalan ketaatan, seperti seorang penunggang kuda yang melaju di medan perang.”

Para Penyerang al-Ghazali
Kaum “salaf” mutakhir cenderung berusaha menghidupkan kembali kebiasaan menyerang Imam al-Ghazali, meremehkan orang yang membaca karya-karyanya, dan mengungkapkan berbagai argumen untuk menentang pandangan-pandangan nya. Serangan mereka itu lebih hebat lagi ketika berurusan dengan kitab Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn. Kitab ini merupakan karya besar dan petunjuk paling penting dalam kajian tasawuf. Kesuksesan dan sangat besarnya jumlah pembaca karya ini telah membuat panik musuh-musuh tasawuf. Bahkan, ada sebagian kalangan yang kelewatan dengan menyatakan bahwa al-Ghazali dalam keadaan gila ketika menulis kitab ini; sebagian lainnya salah memahami bacaannya menjelang ajal terhadap karya Imam Bukhari sebagai penolakannya terhadap tasawuf. Sebagian lainnya, yang kebanyakan ulama anti-sufi, mencela kitab ini lebih jauh. Meski demikian, kitab ini telah menunjukkan keunggulannya atas para pengkritiknya yang hanya sibuk mencela. Semakin banyak karya terjemahan dari karya ini dilahirkan yang kualitasnya semakin baik. Bagian berikut ini akan memberikan kepada para pembaca sejumlah rujukan yang dapat diandalkan berkenaan dengan kehidupan al-Ghazali dan karya-karyanya.
Shalahuddin al-Safadi (w. 764 H.), murid Abu Hayyan al-Andalusi, dalam karya biografisnya yang sangat besar, al-Wâfî, yang memuat lebih dari 14.000 riwayat hidup, menceritakan:
Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad, Hujjatul Islam, Ornamen Iman, Abu Hamid al-Tusi (al-Ghazali) , ahli fikih Mazhab Syafi’i, adalah orang yang tidak ada tandingannya pada masanya.
Pada 488 H. ia meninggalkan seluruh kehidupan duniawinya (termasuk karir akademisnya di Madrasah Nizamiyyah, tempat ia mengajar sejak 484 H.) untuk menempuh jalan takhallî (pengosongan diri dari keduniaan) dan uzlah (penyepian diri). Sepulangnya dari ibadah haji, ia pergi ke Syria dan tinggal sebentar di Damaskus, sambil mengajar di salah satu sudut masjid (zâwiyat al-jâmi‘) sebelah barat yang kini dinamai dengan namanya. Ia kemudian bepergian ke Yerusalem, menyibukkan dirinya dalam ibadah dan menziarahi tempat-tempat suci. Kemudian ia pergi ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandaria…
Kemudian ia pulang ke negeri asalnya di Tus (menjelang 492 H.). Di kota inilah ia menyusun sejumlah buku (termasuk Ihyâ’) sebelum kembali ke Naisabur, tempat ia diberi tugas untuk memberi kuliah di Nizamiyah (499 H.). Namun, ia tak lama berkarir di sana dan kembali ke kampung halamannya. Di sinilah ia memimpin khâniqah untuk para sufi dan lembaga pendidikan di sebelahnya untuk para pelajar umum. Ia membagi waktunya untuk melakukan berbagai aktivitas yang bermanfaat, seperti membaca Alquran dan memberikan kuliah kepada kaum sufi…
Kitab ini termasuk di antara kitab yang paling agung, sampai-sampai ada yang mengatakan, “Apabila semua kitab tentang Islam telah hilang dan yang tertinggal hanya Ihyâ’ maka cukuplah kitab itu menggantikan semua yang hilang…” Para penentang al-Ghazali menyebutkan beberapa hadis dalam kitab ini yang dianggap tidak sahih, tetapi di sisi lain, mereka membiarkan hadis-hadis serupa yang terdapat dalam karya-karya anjuran kepada kebaikan dan cegahan dari keburukan (al-targhîb wa al-tarhîb). Kitab ini tetap bertahan sebagai kitab yang sangat bernilai. Imam Fakhruddin al-Razi pernah mengatakan, “Seolah-olah Allah telah menghimpun segala ilmu di bawah satu kubah, dan memperlihatkannya kepada al-Ghazali,” atau sesuatu yang maksudnya seperti ini. Ia meninggal pada 505 H. di Tabaran, benteng pertahanan kota Tus, tempat ia dikebumikan.

Uraian di atas sangat jelas menyangkal tuduhan yang mengada-ada bahwa al-Ghazali menolak tasawuf di akhir hayatnya. Ada juga orang yang membedakan antara al-Ghazali sebagai ahli ushul dan al-Ghazali sebagai ahli tasawuf. Apabila diberitahukan kepada mereka bahwa kitab-kitab Imam al-Ghazali tentang metodologi dan dasar-dasar hukum Islam dianggap sebagai bacaan wajib dalam bidang ini, mereka berdalih bahwa karya-karya itu ditulis sebelum ia mengasingkan diri dan menempuh jalan sufi. Padahal kenyataannya, kitab terbesar dan paling komprehensif dari empat kitabnya mengenai ushul-fikih disusun pada masa-masa akhir hayatnya, sebagaimana dinyatakan oleh Dr. Taha al-Alwani:
Ensiklopaedia Imam al-Ghazali tentang Metodologi Sumber Hukum Syariah, yaitu kitab keempatnya mengenai masalah ini, dan merupakan karya terakhirnya, adalah al-Mustasyfâ, yang telah dicetak berulang kali di Mesir dan di berbagai kawasan lainnya. Kitab ini ditulis setelah ia keluar dari masa penyepian dan pengasingan dirinya.

Dan dalam buku Reliance, ketika bertutur mengenai al-Ghazali, disebutkan:
Di Damaskus ia tinggal menyepi sekitar sepuluh tahun, memusatkan diri pada perjuangan rohani dan zikir kepada Allah. Pada saat-saat terakhirnya, ia menulis karya agungnya, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, sebuah kitab klasik di antara kitab-kitab kaum muslim tentang membina ketakwaan dengan selalu terhubung kepada Allah, menerangi jiwa melalui ketaatan kepada-Nya dan tahapan-tahapan orang beriman untuk sampai ke sana . Karyanya ini menunjukkan betapa al-Ghazali sangat memahami persoalan yang ditulisnya. Ia menyuguhkan pemecahan yang sangat mengagumkan mengenai ratusan persoalan yang berkenaan dengan kehidupan spiritual, yang tak pernah dibahas dan dipecahkan oleh seorang pun sebelumnya. Ini menunjukkan kecerdasan penulisnya yang sangat berdisiplin dan pemahamannya yang mendalam mengenai psikologi manusia. Ia juga menulis hampir dua ratus karya lainnya, yang meliputi berbagai bidang, termasuk teori pemerintahan, hukum Islam, bantahan terhadap filsafat, keimanan, tasawuf, tafsir, kalam, dan dasar-dasar hukum Islam.

Salah seorang pengkritik al-Ghazali yang paling vokal adalah Ibn al-Jauzi, yang juga sangat meremehkan kaum sufi. Ia menentang kitab Ihyâ’ dalam empat karyanya: I‘lâm al-Ahyâ bi Aghlath al-Ihyâ (Pemberitahuan tentang Kesalahan-Kesalahan Ihyâ’), Talbîs al-Iblîs, Kitâb al-Qussâs, dan kitab tarikhnya, al-Muntazham fî Târîkh al-Muluki wa al-Umam.
Sebagian pandangan Ibn al-Jauzi diikuti oleh Ibn Taimiyah dan muridnya, al-Dzahabi. Dasar pendangan mereka adalah karena al-Ghazali banyak menggunakan hadis daif. Sebenarnya, kritik mereka hanyalah pernyataan yang dibesar-besarkan, mengingat baik Hafiz al-Iraqi (w. 806 H.) maupun Hafiz al-Zabidi (w. 1205 H.) menghapal hadis-hadis yang dimuat dalam kitab Ihyâ’ dan tidak pernah mempertanyakannya. Sebaliknya, mereka menghargai keberadaan kitab tersebut yang sangat diapresiasi oleh umat Islam. Keduanya mengungkapkan komentar yang baik tentang kitab itu, dan mempromosikannya sebagai sebuah kitab pegangan yang dapat dipercaya untuk meningkatkan kemajuan rohani. Sebagaimana ditegaskan oleh al-Subki, al-Ghazali tidak berlebih-lebihan dalam mempergunakan hadis.
Lebih penting lagi, kebanyakan ahli hadis membolehkan penggunaan hadis daif dalam berbagai persoalan selain penetapan masalah hukum. Misalnya, para ahli hadis yang tak terhitung banyaknya, dan para ulama lainnya membolehkan penggunaan hadis daif untuk mendorong kebaikan dan mencegah keburukan (al-targhîb wa al-tarhîb).
Harus dipahami bahwa al-Ghazali menyertakan semua bahan yang berguna untuk mencapai sasaran pendidikannya. Ia memilih hadis berdasarkan pertimbangan isinya daripada rangkaian periwayatannya. Bagian terbesar kitab Ihyâ’ memuat kutipan dari Alquran, hadis, dan perkataan para ulama, sedangkan pandangan al-Ghazali sendiri tidak lebih dari 35% dari keseluruhan isinya. Terakhir, dari keseluruhan hadis yang dikutip oleh al-Ghazali, sebagian besarnya merupakan hadis yang sanadnya kuat.
Sebagai kesimpulan, sebagaimana dikatakan al-Safadi, kitab Ihyâ’ termasuk jenis karya targhîb, atau etika, yang menyampaikan prinsip-prisip tasawuf. Autentisitas dalil-dalil yang dikutip dalam karya sejenis, menurut kebanyakan ulama, tidak mesti terlalu ketat seperti dalam kitab mengenai akidah dan fikih. Penerapan kriteria yang sama untuk karya-karya tentang tasawuf sama saja dengan membandingkan apel dengan jeruk. Karena itu, sebagaimana juga ditunjukkan secara tepat oleh al-Safadi, kritik terhadap Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn yang menekankan pada hadis-hadis daif yang dikutip di dalamnya adalah tidak tepat. Tidak tepat pula kritik serupa terhadap karya-kraya targhîb semacam ini, seperti kritik al-Dzahabi terhadap kitab Qût al-Qulûb karya Abu Thaliq al-Makki. Ia menekankan kritiknya hanya pada sisi autentisitas dalil yang dikutipnya seraya mengabaikan dukungan yang begitu besar terhadap tasawuf dan karya-karya tentangnya. Iangatlah selalu nasihat al-Dzahabi: “Jangan terburu-buru menghakimi, tetapi berprasangka baiklah kepada kaum sufi” atau nasihat Imam al-Ghazali: “Berpikir baiklah (tentang kaum sufi) dan jangan menyimpan keraguan dalam hatimu”; atau nasihat Ibn Hajar al-Haitsami: “Buruk sangka terhadap mereka (kaum sufi) merupakan tanda kematian hati.”121 Langkah terbaik adalah mengambil manfaat yang terdapat dalam setiap karya para sufi dengan hati yang bersih, seraya tetap menghormati para tokoh sufi. Sesungguhnya mereka merupakan kelompok kecil di tengah masyarakat; dan dari sisi pengetahuan, mereka adalah menara yang tinggi menjulang di atas kebanyakan orang. Jangan mencari-cari perbedaan pandangan di antara para ulama, dan hormatilah mereka yang berbicara tentang Allah.

Keabsahan Hadis Daif
Selain pendapat-pendapat di atas, ada beberapa pendapat lain yang mendukung penggunaan hadis daif yang disampaikan oleh para ahli hadis. Semua pernyataan itu berujung pada satu simpul, sebagaimana dikatakan al-Sakhawi: “Jumhur ulama berpandangan bahwa hadis daif dapat digunakan sebagai dasar pegangan untuk melakukan kebaikan dan memperbaiki akhlak, tetapi tidak untuk menetapkan hukum.” Ibn Hajar, misalnya, menulis dalam Hâdî al-Sari:
Malik dan Bukhari punya pemahaman yang berbeda mengenai keabsahan hadis. Malik beranggapan bahwa terputusnya sanad tidak merusak suatu hadis. Karena alasan inilah ia mengutip beberapa hadis mursal dan munqati yang terputus sanadnya; ia juga mengutip sejumlah riwayat yang tak bersanad (balaghât) dalam materi utama dari kitabnya (al-Muwaththa’), sedangkan Bukhari menganggap bahwa terputusnya sanad merusak hadis. Karena itu, ia tidak suka mengutip hadis-hadis semacam ini kecuali sebagai tambahan di luar materi utama kitabnya (al-Jâmi‘ al-Shahîh), seperti dalam komentar (ta‘lîq) dan judul bab.
Al-Hakim (w. 405 H.) meriwayatkan dalam kitabnya yang menjadi salah satu pedoman ilmu hadis, Madkhal, bahwa:
Aku mendengar dari Abu Zakariya al-Anbari dari Muhammad Ibn Ishaq ibn Ibrahim al-Hanzhali dari ayahnya bahwa Abdurrahman ibn Mahdi berkata, “Dalam hadis-hadis tentang pahala, hukuman, dan perbuatan terpuji, kami bersikap cukup longgar menyikapi sanad dalam periwayatan kami. Dan kami cukup terbuka menyikapi para perawinya (yaitu berkenaan dengan identitas dan keterpercayaannya) . Namun, jika kami meriwayatkan hadis yang berkaitan dengan urusan halal dan haram, kami meneliti sanadnya dengan sangat ketat, dan kami mempertimbangkan setiap perawinya dengan sangat saksama.”
Aku mendengar dari Abu Zakariya Yahya ibn Muhammad al-Anbari dari Abu al-Abbas Ahmad ibn Muhammad al-Sijzi dari al-Naufal bahwa Ahmad ibn Hanbal mengatakan, “Apabila kami meriwayatkan dari Rasulullah saw yang berkaitan dengan urusan halal dan haram, urusan muamalah dan ketetapan hukum, kami bersikap sangat ketat; tetapi apabila kami meriwayatkan dari Nabi saw. menyangkut tindakan dan perilaku mulia dan tidak menetapkan atau membatalkan suatu keputusan hukum, kami bersikap akomodatif dalam urusan sanadnya.”

Berikut ini kutipan lengkap dari kitab al-Qawl al-Bâdî karya al-Sakhawi:
Syekh al-Islam abu Zakariya al-Nawawi mengatakan dalam kitab Adzkâr bahwa para ahli hadis, ahli fikih, dan kalangan ulama lainnya memperbolehkan dan (bahkan) menganggap baik penggunaan hadis daif sebagai dasar untuk amal-amal agama yang berkaitan dengan perbuatan baik dan keutamaan (fadhâ’il), serta untuk mendorong kebaikan dan mencegah keburukan (al-targhîb wa al-tarhîb) selama hadis itu tidak dipalsukan. Sementara jika berkaitan dengan ketetapan hukum (ahkâm), seperti apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang, atau syarat-rukun perdagangan, pernikahan, perceraian, dan lain-lain setiap orang hendaklah mendasarkannya pada hadis sahih atau hasan, kecuali sebagai tindak pencegahan dalam beberapa hal yang berkaitan dengan salah satu yang di atas, misalnya penggunaan hadis daif berkenaan dengan suatu tindakan yang tercela (karâhât) dalam urusan jual-beli atau pernikahan. Dalam kasus semacam itu, dianjurkan (mustahabb) untuk menghindari tindakan tercela itu.
Ibn Arabi al-Maliki tidak menyetujui pendapat itu dan mengatakan, “Secara mutlak tidak ada satu pun perbuatan yang boleh didasarkan atas hadis daif.”
Aku pernah mendengar guruku (Ibn Hajar al-Atsqalani) menegaskan hal berikut dan menyampaikannya kepadaku secara tertulis:
Ada tiga persyaratan bagi amalan agama yang boleh didasarkan atas hadis daif:
1. Amal kebaikan yang disepakati secara ijmak, dan hadis yang dimaksudkan tidak terlalu berat kedaifannya. Jadi, tidak termasuk dalam kriteria ini hadis-hadis yang diriwayatkan sendirian oleh para pembohong atau orang yang dituduh suka bohong, dan orang yang melakukan dosa besar.
2. Ada dasar hukum umum untuknya. Maka, tidak termasuk dalam kriteria ini hadis palsu dan yang tidak punya dasar yang sah untuk dijadikan dalil.
3. Ketika seseorang melakukan suatu perbuatan yang mengacu pada hadis itu, janganlah berpikir bahwa perbuatan itu telah dibenarkan. Ini dimaksudkan agar tidak ada ucapan yang tidak dikatakan Nabi saw. dinisbatkan kepada beliau.
Dua syarat terakhir diungkapkan oleh Ibn Abdissalam dan sahabatnya, Ibn Daqiq al-Id; Abu Sa‘id al-Ala’i menyebutkan bahwa syarat yang pertama disepakati bersama oleh para ahli hadis.
Imam Ahmad mengatakan bahwa seseorang dapat mengerjakan suatu amal berdasarkan hadis daif jika tidak ada hadis lain yang serupa dengannya dan tidak ada hadis lain yang berlawanan dengannya. Dalam sebuah riwayat ia pernah mengatakan, “Aku lebih memilih hadis daif daripada pendapat seseorang.” Dan menurut Ibn Hazm, para ulama Hanafi bersepakat bahwa hadis daif lebih disukai daripada pikiran (ra’y) dan analogi (qiyâs). Imam Ahmad pernah ditanya mengenai seseorang yang berada di suatu negeri yang memiliki, di satu sisi, seorang yang hapal banyak hadis (shâhib al-hadîts) namun tidak mengetahui mana yang sahih dan mana yang tidak sahih, dan di sisi lain, seorang yang pandai menggunakan pikiran (shâhib al-ra’y), siapakah yang harus ia mintai petunjuk? Ia menjawab, “Hendaklah ia meminta petunjuk kepada shâhib al-hadîts.”
Abu Abdillah ibn Mandah mengabarkan bahwa Abu Dawud, penulis kitab Sunan dan murid Imam Ahmad, suka menyebutkan rantai periwayatan suatu hadis daif apabila dalam suatu persoalan tertentu ia tidak menemukan hadis lain. Ia menganggapnya sebagai dalil yang lebih kuat daripada pendapat ulama.
Jadi, kita menemukan tiga macam pandangan yang berbeda mengenai permasalahan ini:
•Tidak ada satu pun perbuatan yang boleh didasarkan atas hadis daif.
•Perbuatan dapat didasarkan atas hadis daif jika tidak ditemukan dalil lain mengenai suatu masalah tertentu.
•Jumhur ulama berpandangan bahwa hadis daif dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan suatu perbuatan baik dan mencapai keutamaan (fadhâ’il), tetapi tidak dapat dipergunakan untuk menetapkan hukum. Allah-lah Pemberi segala keberhasilan.
Berkaitan dengan persoalan ini, Ibn Taimiyah mengatakan, “Orang yang meriwayatkan dari Ahmad bahwa ia suka menggunakan hadis daif—tidak sahih atau hasan—telah melakukan kesalahan.” Memang pendapatnya itu benar, karena, sebagaimana dikatakan al-Sakhawi, Imam Ahmad tidak menerapkan hadis daif dalam hukum, atau yang berkaitan dengan penetapan hukum. Jadi, semestinya Ibn Taimiyah mengatakan, “Orang yang meriwayatkan dari Ahmad bahwa ia suka menggunakan hadis daif dalam penetapan hukum syariat telah melakukan kesalahan.” Namun, tidak ada keraguan bahwa Imam Ahmad menerima hadis daif sebagaimana diceritakan oleh al-Hakim dan dikuatkan oleh Ibn Arabi al-Maliki, dan bahkan dikuatkan juga oleh Ibn Taimiyah di berbagai tempat dalam karya-karyanya. Misalnya ia menyatakan bahwa,
Ahmad ibn Hanbal dan ulama lainnya membolehkan periwayatan hadis tentang keutamaan selama hadis itu tidak diketahui sebagai suatu kebohongan… karena mungkin saja pahalanya benar meskipun tidak ada seorang imam pun yang memperbolehkan penetapan sesuatu sebagai wajib atau dianjurkan (mustahabb) hanya berdasarkan hadis daif. Siapa saja yang memperbolehkannya berarti telah menentang ijmak.

Namun, pernyataan Ibn Taimiyah bahwa “tidak ada seorang imam pun yang memperbolehkan penetapan sesuatu sebagai wajib atau dianjurkan (mustahabb) hanya berdasarkan hadis daif. Siapa saja yang memperbolehkannya berarti telah menentang kesepakatan (ijmak)” adalah tidak benar, sebagaimana dibuktikan oleh riwayat al-Sakhawi yang tidak dapat dibantah tentang kata-kata al-Nawawi, yang telah kami sebutkan di atas.

Senin, 05 Januari 2009


TAWASUL MELALUI PARA WALI
Diambil dari buku Encycolpedia of Islamic Doctrine volume 4: Intercession (Tawassul) karya Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani Ar Rabbani qs


Kita pun akan mendapatkan banyak dalil tentang tawasul melalui para wali. Cukuplah dikatakan di sini bahwa Allah, dalam firman-Nya, dengan tegas memperingatkan semua kaum beriman untuk senantiasa menemani mereka, “Hai orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang yang benar.” (Q.S. al-Tawbah [9]: 119). Dan Dia menganjurkan kita untuk mengikuti orang yang kembali kepada-Nya dengan tobat yang benar dan sempurna (Q.S. Luqmân [31]: 15). Nabi saw. bersabda kepada al-Firasi, tentang meminta-minta, “Jika kau memang harus meminta-minta, mintalah kepada orang yang baik” (in kunta lâ budda sâ’ilâ fas’al al-shâlihîn). Dengan demikian, mendatangi orang saleh untuk bertawasul hukumnya sunat dalam Islam.

Sebagian orang mengira bahwa doa seorang wali hanya akan dikabulkan saat ia masih hidup, dan ia tak akan dapat menolongmu jika sudah mati. Mereka berpikiran seperti itu karena mengira bahwa orang suci, syekh, atau wali adalah sumber pertolongan. Padahal, hanya Allah yang menjadi sumber keberkahan, bukan manusia. Karena itu, meyakini bahwa Allah hanya akan memberi saat si wali itu masih hidup, dan tidak memberi jika ia sudah mati sama saja dengan mengatakan bahwa sumber tertinggi adalah manusia, bukan Allah. Sebenarnya, hanya Allah yang memberi pertolongan, baik ketika si wali masih hidup maupun sudah meninggal.

Sebagian kaum "Salafi" menolak ajaran tawasul kepada para wali setelah mereka wafat. Penolakan itu didasarkan atas keyakinan yang keliru bahwa pengaruh Allah melalui para wali hanya berlaku saat mereka masih hidup. Seperti telah dikatakan, karunia Allah kepada para wali tidak bergantung pada apakah mereka masih hidup atau sudah meninggal, karena dalam keadaan apa pun kekuasaan tetap berada di tangan Allah sedangkan para wali hanyalah alat yang tak punya kekuasaan apa-apa. Di samping itu, pendapat para ulama terdahulu dan terkemudian yang akan kami sebutkan di bawah ini semakin meneguhkan kelirunya penolakan kaum "Salafi" terhadap tawasul melalui para wali setelah mereka wafat.

Telah menjadi bagian keyakinan umat Islam bahwa abdâl, atau para wali pengganti—disebut begitu karena Nabi saw. bersabda, “Tak seorang pun dari mereka mati kecuali Allah menggantinya dengan yang lain,”—ada dan bahwa mereka termasuk pemimpin umat. Bahkan Ibn Taimiyah menulis pada bagian akhir karyanya Aqîdah Wâsithiyyah:
Penganut Islam yang sejati adalah kaum Sunni. Di antara mereka terdapat para wali yang benar (shiddîqîn), syuhada, dan orang saleh. Di antara mereka terdapat orang yang mendapat petunjuk dan cahaya, yang integritasnya kuat dan kebaikannya nyata. Para pengganti (abdâl) dan pemimpin agama terdapat di tengah-tengah mereka dan kaum muslim berada di bawah bimbingan mereka. Inilah kelompok yang beruntung yang mengenai mereka Nabi saw. bersabda, “ Ada satu kelompok dalam umatku yang kukuh dalam kebenaran. Mereka tak akan dimudaratkan oleh orang yang menentang maupun yang mengabaikan mereka, sejak kini hingga hari kiamat.”

Dalam banyak hadis sahih, Nabi saw. menyebutkan keuntungan yang didapat semua makhluk berkat syafaat para wali Allah dan kedekatan mereka dengan-Nya. Al-Suyuthi memberikan banyak contoh tentang syafaat universal ini, di antaranya sebagai berikut:

Imam Ahmad meriwayatkan bahwa ketika orang-orang Syam (Damaskus) disebutkan di depan Ali ibn Abi Thalib yang tengah berada di Irak, para sahabatnya berkata, “Kutuklah mereka, wahai Amirul Mukminin.” Ia menjawab, “Tidak. Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘ Para pengganti (abdâl) berada di Syam dan mereka ada empat puluh orang, setiap kali mereka wafat, Allah menggantikannya dengan yang lain. Karena mereka Allah menurunkan hujan, memberi (kepada kaum muslim) kemenangan atas musuh mereka dan mencegah malapetaka atas orang-orang Syam.’”

Al-Haitami mengatakan bahwa perawi hadis itu sahih kecuali Syarih ibn Ubaid, dan ia layak dipercaya (tsiqah). Al-Sakhawi menyebutkan hadis ini dalam karyanya, Maqâshid, dan menyetujuinya. Tetapi ia berpendapat bahwa tampaknya itu bukan ucapan Nabi saw., melainkan ucapan Ali sendiri.

Minggu, 07 Desember 2008


Fadilah dan Rahasia Bulan Rajab

Mawlana Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani QS



Bulan ini dijuluki sebagai Syahrullah (bulannya Allah SWT), yang merupakan salah satu bulan suci umat Islam. Allah SWT memberikan kemuliaan kepada hamba-hamba-Nya dengan diciptakannya bulan ini; dibuktikan dengan sabda Rasulullah SAW, “Rajabun Syahrullah” “Rajab adalah bulannya Allah SWT.” Tak seorang pun mengerti apa yang Dia bukakan kepada hamba-hamba-Nya kepada seluruh ciptaan-Nya di bulan ini. Di bulan ini begitu berlimpahnya kehormatan dan kebahagiaan dapat diperoleh, bahkan tak terhingga. Mawlana Syekh Abdullah Fa’iz ad-Daghestani QS mengatakan—yang disampaikan oleh Mawlana Syekh Nazim Adil al-Haqqani QS, “Allah SWT tidak memperkenankan kalam-Nya untuk mencatat amal kita di bulan ini, kecuali dengan ‘perangkat surgawi’ yang disebut “Yad al-Qudra”, yaitu “Kekuatan yang Dahsyat.”

Allah SWT menyaksikan dan menerima amal hamba-hamba-Nya tidak dengan pengertian “fa man ya’mal mitsqala dzarratin khayran yarrah, wa man ya’mal mitsqala dzarratin syarray yarrah.” Di bulan ini, siapa pun yang berbuat amal baik, amal saleh, akan secara langsung tercatat dengan perantaraan Qalam al-Qudra, suatu kekuatan pencatat amal “non konvensional” yang tidak pernah Allah SWT berikan kepada para malaikat pencatat amal sekalipun. Ini merupakan “Kalam Ilahiah” yang “jauh di atas” kemampuan para malaikat untuk mengembannya. Kalam ini adalah kalam yang ketika Allah SWT memerintahkannya untuk menulis kalimat La ilaha ill-Allah sebelum diciptakannya alam semesta beserta segala isinya. Kalam Ilahiah tersebut melaksanakan perintah seraya gemetar selama 70.000 tahun dalam hitungan Allah SWT. Kemudian Dia memerintahkan untuk menulis Muhamadur-rasulullah SAW. Pada saat itu kalam sempat bertanya, “Wahai Tuhanku, siapakah gerangan yang Kau taruh namanya bersamaan dengan nama-Mu?” Serta merta Allah SWT menjawab; “Law la Muhammad ma khalaqtahu ahadan min khalqihi”, yang artinya “Kalaulah bukan untuk Muhammad SAW kekasih-Ku, tidak akan pernah Kuciptakan apa pun di alam semesta ini!” Kalam ini berada di Hadirat Ilahi, tidak diberikan-Nya kepada segenap para malaikat. Kalam Ilahiah tersebut akan diserahkan kepada Junjungan Nabi Besar Muhammad SAW kelak di Hari Penghitungan (Yawmul Hisab). Kalam inilah yang menulis semua amal kebaikan umat manusia yang beriman di bulan Rajab ini. Sekecil apa pun kebaikan yang dilakukan akan tercatat sedemikian rupa sehingga tetap akan sulit untuk memperoleh timbangan keseimbangannya.

Untuk setiap amal kebaikan yang dilakukan, Allah SWT akan memberikan hamba-hamba-Nya ganjaran yang tidak pernah diberikan-Nya pada kesempatan yang lain. Ganjaran akan berlipat ganda dalam bentuk ma'arij. Pada bulan ini Allah SWT memberikan ma'arij kepada umat manusia, hamba-Nya yang berbuat amal saleh, atas segala amalnya tersebut. Siapa pun yang berbuat kebaikan pasti akan diberi ganjaran mi'raj (kenaikan), dan mi'raj tersebut akan mengangkat hamba yang bersangkutan ke derajat di mana meskipun ia berbuat amal saleh secara sempurna selama setahun penuh untuk kembali ke permulaan bulan Rajab di tahun kemudian, maka amal kebaikan tersebut sebenarnya "tidak mampu" mengimbangi amal kebaikan terkecil yang dilakukan di bulan Rajab ini. Subhanallah! Ingatlah, hal ini sebenarnya masih merupakan setetes makna dan realitas fadilah bulan Rajab. Maka sungguh logis bahwa setiap tahunnya para awliya, para kekasih Allah SWT, hamba-hamba-Nya yang saleh dan salehah selalu menantikan kehadiran bulan Rajab. Para awliya akan menggunakan kesempatan Rajab untuk khalwat, bulan di mana penggapaian dan perolehan pancaran rahmat dan ilmu secara sangat luas terjamin oleh Allah SWT sebagai ganjaran ibadah khalwat tersebut. Oleh karena itu, khalwat dimulai di bulan Rajab. Jika seseorang ingin melaksanakan khalwat—adalah di bulan Rajab—bukan di bulan suci Ramadan. Di bulan Ramadan telah disediakan waktu yang afdhal untuk iktikaf.

Di bulan ini amal akan dilipatgandakan secara tatada 'afuw fihi al 'amaal. Amal kebaikan akan dibalas, diberikan ganjarannya bagaikan reaksi atomik. Apa yang diberikan Allah SWT selalu berkelipatan secara terus-menerus, khususnya di bulan Rajab—tidak akan ada yang pernah mengerti proses penghitungannya khususnya ketika dilaksanakan oleh Qalam al-Qudra. Kalam hanya menunggu perintah-Nya, apa pun yang akan dicatat sebagai suatu 'tabungan' amal saleh seluruh hamba, dan kalam ini kelak akan diberikan kepada Nabi Muhammad SAW. Kalam ini bukanlah termasuk 'malakun muqarrab', yakni kalam yang telah diberikan kepada para malaikat. Ini dibuktikan dengan firman-Nya, melalui Nabi Muhammad SAW, “Rajabun Syahrullah wa Sya’banu Syahri” – “Bulan Syakban adalah bulanku” (sabda Nabi SAW). Sehingga pada hakikatnya menjelaskan kepada kita semua, segala bentuk kebaikan yang bertaut dengan kepatuhan dan cinta kepada Nabi SAW—akan dicatat sendiri oleh kalam beliau. Terdapat Kalam Allah (Qudra) dan juga Kalam Rasul SAW. Allah SWT memberikan kehormatan tersebut kepada Nabi SAW, sejak beliau masih berada di alam dunia; dan ketika semua ciptaan-Nya mengucapkan salam dan selawat kepada beliau, maka akan dicatat langsung oleh Nabi Muhammad SAW.

Sedemikianlah Allah SWT memberikan kemuliaan dan kelebihan derajat kepada umat Nabi SAW jauh di atas umat lainnya, sedemikian tingginya sehingga perbuatan baik yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan keikhlasan, walaupun sedikit saja, akan tercatat secara akumulatif (non stop). Para malaikat tidak memiliki wewenang sebagaimana yang telah dijelaskan tadi; 'laysa andahum salahiyyat.' Para malaikat diberikan wewenang untuk mencatat amal manusia, tetapi tidak untuk memberi pahala. Allah SWT-lah yang memberi pahala; tetapi Allah SWT pun memberi Sayyidina Muhammad SAW wewenang dan kehormatan untuk memberi pahala. Itulah sebabnya mengapa Allah SWT berfirman, “Rajabun Syahrullah,” yang pada hakikatnya mengimplikasikan “Aku memberikan pahala kepada hamba-Ku di bulan ini” dan Nabi SAW bersabda, “Wa Sya’banu syahri.” Beliau tidak bersabda, “Wa Syabanu syar al- rasul.” Nabi SAW bersabda, “Wa Sya’banu syahri” “mengimbangi” pernyataan “Rajabun syahrullah.” “Apa yang Allah SWT berikan kepadaku adalah untuk umatku, jadi segala yang aku berikan adalah untuk kebaikan umat.” “Apa yang Allah SWT berikan di bulan Rajab adalah untuk kebaikan umat dan Allah SWT memberikan pahala di bulan Rajab tanpa batas. Biasanya Allah SWT membalas suatu kebaikan dengan kelipatan sepuluh derajat.

Ketika Allah SWT membalas tanpa hisab (perhitungan) tiada seorang pun yang mengetahui. Hal tersebut berada di luar batas pemahaman manusia dan mizan (timbangan). Apa yang Nabi SAW berikan juga di luar batas perhitungan manusia dan malaikat, sebab ketika Nabi SAW memberi, beliau tidak memberi dari maqamnya ketika beliau masih hadir secara fisik di dunia 14 abad yang lalu, tetapi Nabi SAW memberinya dari maqam beliau terkini dengan ma'arij-nya. Apakah kita berpikir bahwa Nabi SAW hanya melakukan sekali mi'raj? Di Malam Kenaikan ketika Nabi SAW dimuliakan dan diundang Allah SWT untuk melaksanakan perjalanan lintas dimensi; apakah kita berpikir bahwa Nabi SAW 'diangkat' –kembali ke bumi—lalu berhenti dan selesai? Nabi SAW berada dalam maqam ma'arij tanpa mengenal batas dimensi ruang dan waktu. Ketika Allah SWT memberi sesuatu kepada kekasih-Nya, Dia tidak menahan dan mengambilnya kembali. Allah SWT tidak berfirman; "Ini untukmu wahai Muhammad SAW, lalu setelah selesai engkau kembali ke tempatmu semula.” Tidak, tidak demikian. Allah SWT tetap melestarikan kondisi tersebut mulai dari satu hari 1400 tahun yang lalu ketika Nabi SAW melakukan mi’raj dalam Laylat al Israa'i wal-Mi’raj, beliau tetap bermi'raj ke Hadirat Allah SWT. Jadi menurut kita, apa kiranya yang Nabi SAW akan berikan? Apakah beliau memberi pahala dari keadaannya 1400 tahun yang lalu atau memberi dari tingkatannya sekarang? Dan Nabi SAW bersabda, “Allah SWT mengangkatku mitslayni mitslayni”, yakni dalam tingkatan yang lebih tinggi ganda, ganda, ganda, ganda dan berkali-kali lipat lagi. Setiap saat bertambah menjadi ganda kemudian berlipat empat dan seterusnya seperti itu. Lantas minimal sejak 14 abad lampau sampai sekarang, sudah berapa jauh perjalanan Nabi SAW dalam ma'arij-nya? Seseorang yang melakukan pujian kepada beliau di saat sekarang, tentu saja Nabi SAW memberinya balasan dari tingkatannya pada waktu yang sama.

Suatu manifestasi dari ikrar kesetiaan (bay’at), cinta (mahabbah), dan kepatuhan antara umat dan pemimpin berasal dari anwaar (cahaya) yang Nabi SAW sandang sebagai anugerah Allah SWT. Beliau disandangkan-Nya dengan segala tajali yang tidak seorang pun dapat menggambarkannya. Allah SWT menyandangkan Kekasih-Nya mitslayni mitslayni. Setiap saat tajalinya menjadi ganda dan ganda. Setiap saat Allah SWT menyandangkannya dengan cahaya dan rahasia membuatnya berada dalam Samudra Asma dan Sifat. Beliau berenang dalam Bahr al-Asmai wal sifat. Apa yang Allah SWT berikan kepada Sayyidina Muhammad SAW, tidak dapat seorang pun yang mampu mendeskripsikannya.

Hal tersebut berada dalam hati para awliya, meskipun mereka sebenarnya tidak mampu bagaimana mengekspresikannya. Tidaklah heran mengapa Sayyidina Abu Hurayra RA berkata, “Hafizhtu an Rasulillah wi'a ain,” “Aku dapat mengingat dua pengetahuan dari Rasulullah SAW." Salah satunya dapat kuceritakan kepada khalayak ramai; tetapi yang satunya lagi jika aku katakan mereka pasti akan memenggal leherku. Beberapa golongan ulama berkata bahwa hal ini merujuk pada tanda-tanda Hari Akhir. Hal ini tidak benar. Hal tersebut merujuk pada rahasia tingkatan Rasulullah SAW dan apa yang Allah SWT berikan kepada umat beliau. Umat ini adalah ummatan marhuma (diberikan rahmat) dan ummatan maghfira (diberikan pengampunan). Kita sebagai umat beliau diberikan pengampunan-Nya sebagaimana kecintaan yang terpancar oleh-Nya kepada Nabi SAW.

Dengan kata lain Rajabun syahrullah Sya’banu syahri berarti, ‘kalian memasuki milikku.’ Rasulullah SAW bersabda, “Sya’banu syahri.” Beliau tidak bersabda, “Sya’banu syahr al-Nabi” atau “Syahr Rasulullah.” Hal itu lebih menekankan atas kepemilikan (properti) Rasulullah SAW. Syahri berarti “Ini milikku. Kalian memasuki properti pribadi.” Ketika kita berdiri dan mengucapkan, “as-salaamu alayka ya Rasulallah SAW” dalam syahr Sya’ban, kita memasuki properti Muhammad SAW. Bisakah orang yang memasuki properti Rasulullah SAW masuk neraka? Jelas tidak, selesai! Allah SWT akan mengampuninya karena berkah dari Sayyidina Muhammad SAW. Jangan membayangkan jika kalian melangkahkan satu kaki ke dalam Surga lantas kalian akan dilemparkan ke neraka, sebab setiap Surga itu hidup. Apa yang berhubungan dengan akhirat adalah hidup. Surga selalu hidup dengan kehidupan di dalamnya. Ketika kita memasuki sesuatu dengan kehidupan di dalamnya, Allah SWT tidak akan melemparkan kita kembali ke neraka. Di saat kita melangkah ke dalam properti milik Sayyidina Muhammad SAW dan masuk ke dalam hadiratnya dengan salam dan selawat, siapa yang dapat mengambil kembali? Selesai! Rasulullah SAW akan mengadakan perbincangan dengan Ilahi Rabbi, “Ya Rabb, Ya Allah SWT mereka adalah umatku, mereka semua adalah pelayan-Mu, hamba-Mu.” Ia percaya kepadaku, ia masuk ke dalam propertiku, masuk ke dalam surgaku.”

Allah SWT akan berfirman, “Ambil dia! Aku berikan wewenang syafa'at kepadamu wahai Muhammad SAW. Mengapa Aku memberimu syafa'at? Bawa mereka semua ke mana pun engkau hendaki. Tempatkan mereka bersamamu wahai kekasih-Ku.” Kemudian Rasulullah SAW dianugrahi-Nya surga khusus untuk seluruh umatnya yang percaya kepadanya, memujinya, mencintainya, merasakan kehadirannya setiap saat, dan memanggilnya. Mereka akan diberi balasan. Mereka akan menjadi fi maqadi shidqin 'aind maliikin muqtadir. Mereka yang percaya kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW, tetapi tidak merasakan suatu proses rasa kehadiran (muraqabah) yang kemudian dilanjutkan dengan tindakan malas untuk menyeru, akan juga berada di surga yang sama namun mereka akan terselubung dari pandangan Rasulullah SAW.

Wahai mu'min, wahai orang-orang yang beriman, apa yang ada di kalbu para awliya begitu luas, sehingga bila setetes kecil saja ditempatkan di alam ini maka alam ini akan menjadi abu dari pancaran tajali-Nya. Allah SWT tidak akan memberikan izin kepada para wali untuk mengungkapkan sampai mereka mendapat dukungan kekuatan penuh dari Sayyidina Imam Mahdi AS kelak, Insya Allah. Banyak wali telah lama menanti, menanti, dan dengan sabar menanti—sehingga tidak sedikit dari mereka dalam penantiannya tersebut kembali ke hadhirat Ilahi Rabbi. Kita layak untuk selalu berharap, sebagai pengikut Baginda Nabi SAW, para sahabat beliau, pengikut para wali Allah, pengikut Mawlana Syekh Nazim Adil Al-Haqqani QS, kiranya Allah SWT memanjangkan usia kita untuk sempat berjumpa dengan Imam Mahdi AS, untuk menikmati indahnya rahasia-rahasia dari dalam kalbu mereka (para wali).

Ketika kalian masuk ke dalam samudra ilmu Allah SWT, hal ini dapat membuat 'mabuk.' Jadi, pada akhirnya sudah tidak pantas untuk bersandar pada alam logika. Hal tersebut berada di luar batas pikiran kita. Seraya Ramadan menghampiri kita—wa Ramadhanu syahrul ummati—Marhaban Yaa Syahrul Ramadhan! Ini berarti setelah Allah SWT menyandangkan umat Nabi SAW dengan cahaya dari Bahr ul-Qudra, dari Samudra Kekuatan—Samudra Keindahan—Dia menyandangkan lagi dengan cahaya dan perwujudan Asmaa dan Sifat-Nya. Kemudian Dia mengirimkan mereka kepada kekasih-Nya untuk menyandangkan mereka dari samudra milik beliau. Kemudian dengan dua busana yang telah dipakai sejak Rajabun syahrullah dan Sya’banu syahri ini umat memasuki Ramadan untuk diberi penghargaan dengan puasa sebagai perwujudan syukur kepada Allah SWT atas apa yang telah diberikan kepada umat dalam syahr Rajab dan apa yang Nabi SAW berikan dalam syahr Sya’ban. Allah SWT memberi mereka pahala. Mereka akan disandangkan dengan busana ini dalam syahru Ramadan dan akan diperlihatkan kepada para malaikat.

Para malaikat—menurut Syekh Abdullah Fa'iz ad-Daghestani QS dan Mawlana Syekh Nazim Adil Al-Haqqani QS, akan berdiri kebingungan ketika perhatian mereka tertuju pada umat yang mengambil kesempatan secara optimal untuk beribadah secara ikhlas dan kontinu di bulan Rajab dan Syakban. Mereka yang tetap menjaga adab Rajab dan Syakban—mereka adalah bagian yang istimewa dan sungguh beruntung dari keseluruhan umat. Tidak semua bagian dari umat mampu melaksanakannya. Untuk orang-orang istimewa ini, yang tetap menjaga adab Rajab dan Syakban, ketika memasuki bulan suci Ramadan para malaikat akan tercengang keheranan. “Siapa mereka ini? Jenis tajali apa yang mereka sandang?” Begitulah rasa keingintahuan para malaikat. Pada akhirnya para malaikat merasa malu untuk mencatat amal mereka sebab apa pun yang akan malaikat catat untuk mereka di bulan Ramadan, orang-orang tersebut telah dihiasi dengan cahaya yang belum pernah dibukakan sebelumnya. Nur yang pada akhirnya dibukakan itu disebabkan oleh tajali dan ma'arij Rasulullah SAW. Para malaikat terkejut, heran, sampai dengan tahap 'bingung' tidak tahu apa yang harus dilakukan. Itulah sebabnya mengapa Allah SWT berfirman bahwa sepuluh hari terakhir dari Ramadan adalah atqun minal naar, yakni bebas dari api neraka. Amin Yaa Rabbul'alamiin.

Berita Gembira tentang Sayyidina Mahdi 'alayhissalam pada 10 Hari Terakhir Ramadhan 1428H

Mawlana Shaykh Muhammad Hisham Kabbani
Jum'at, 5 Oktober 2007, setelah sholat Subuh
Fenton, Michigan


[Catatan pribadi, bukan transkripsi resmi; bila ada kesalahan adalah kesalahan penulis]


A'uudzu billahi minasy syaithanirrajiim

Bismillahirrahmanirrahiim

Athi'ullaha wa athi'ur Rasuul wa ulil amri minkum


Awliyaullah menunggu selama bertahun-tahun dan mengharapkan Dukungan/Pertolongan Surgawi. Mereka begitu tertarik dengan Dukungan/Pertolongan Surgawi karena dengannya akan datang begitu banyak pengetahuan yang tidak pernah ada sebelumnya. Manusia normal tidak mempunyai "himmah" tentang pengetahuan itu. Jadi, mereka tidak pernah membicarakannya, tidak pernah memikirkannya. Sementara Awliya'ullah memikirkan hal itu pada setiap kesempatan dan berharap agar Dukungan/Pertolongan Surgawi datang sewaktu-waktu.

Yang artinya bahwa dengan Dukungan/Pertolongan Surgawi sebanyak Kebodohan dan ketidak adilan yang memenuhi dunya akan dipenuhi dnegan Cahaya, Keadilan, dan Pengetahuan. Itulah mengapa, Awliya'ullah berdo'a agar Dukungan/Pertolongan Surgawi datang pada masa mereka, Dukungan/Pertolongan Surgawi yang akan mengisi Ummah dengan Kegembiraan dan Kebahagiaan.

Dan Dukungan/Pertolongan Surgawiitu adalah Sayyidina Mahdi 'alayhissalam. Sebagaimana Nabi sallallahu 'alayhi wasallam berkata bahwa Mahdi alayhissalam akan datang ketika ketidak adilan dan kebodohan memenuhi dunya ini.

Kini, dibulan ini, manifestasi/perwujudan/tajalli dari pengetahuan yang berbeda datang dan dimanifestasikan kepada Nabi sallAllahu 'alayhi wasallam, yang kemudian akan membukakannya ke Sayyidina Mahdi 'alayhissalam, yang lalu akan membukakannya ke 40 khalipah dan 59 deputi beliau; dan dari mereka dibukakan ke Awliya'ullah.

Awliya'ullah sangat berbahagia Ramadhan ini karena pembukaan ini. Ini seperti sebuah lubang kecil ditembok, perlahan-lahan akan terbuka lebih lebar sehingga kau bisa masuk ke dalamnya. Dan itu akan menjadi semakin besar. Dari setiap sudut pengetahuan ini bermunculan.

Awliyaullah akan memberikan pengetahuan kepada para murid dari jarak jauh ke hati/walbu mereka dan mereka akan memahaminya. Pen-transferan pengetahuan itu terjadi tanpa disadari oleh murid. Sebagian dari mereka (tergantung pada tingkatan masing-masing) akan diberikan tetesan-tetesan pengetahuan. Sisanya, bahkan para murid tidak tahu bahwa mereka memperoleh pengetahuan tersebut sampai tiba waktunya.

Pembagian ini sudah dilaksanakan, dan persiapan penuh sudah dilakukan terutama selama Laylatul Qadr, ketika semua orang dibawah lingkup kenaikan ( mi'raj). Semua orang akan memperoleh titik Kenaikan berbeda. Karena Allah yang Maha Kuasa menciptakan titik maqam yang berbeda-beda.

Shaykh kita sudah diperintahkan untuk memberikan pidato dalam Pertemuan para Wali ( Diwanul 'Awliya') dengan hadirnya sang Nabi sallallahu 'alayhi wasallam , juga dengan hadirnya Sayyidina Mahdi 'alayhissalam, menunjuk ke 40 khalipah, 59 deputi, dan 124.000 wali tentang strategi bagaimana untuk mendistribusikan pengetahuan ini. Mawlana Shaykh menunjuk mereka dan mereka mengerti apa posisi mereka nantinya dan apa yang akan mereka lakukan, untuk memberika pengetahuan kepada pengikut mereka.

Mereka menunggu sinyal dari Sayyidina Mahdi 'alayhissalam, untuk memberikan getaran gelombang berbeda-beda dan suara dimuka bumi. Ilmuwan akan terpana mendengar suara-suara bukan berasal dari bumi. Kenyataannya, pengetahuan ini datang ke hati/qalbu para murid. Ini seperti Musik Melodi Surgawi. Ini sudah diputuskan dibulan ini.

Barang siapa yang menerima pengetahuan in harus menyimpannya untuk diri mereka sendiri, jangan diberitahukan kepada orang lain. Karena hal tersebut akan membuat mereka pamer. Dan mereka harus terdorong untuk mengikuti jejak langkah sang Nabi sallAllahu 'alayhi wasallam, seperti para sahabah yang mengikuti jejak langkah beliau, dan juga mengikuti langkah Shuyukh kita.

Di Surga pertama, Allah memerintahkan para malaikat untuk bergerak bersama Sayyidina Mahdi 'alayhissalam, untuk menggapai semua orang yang akan hidup dimasa itu. Ada 7 kelompok yang dipastikan selamat untuk bersama Mahdi: Budala, Nujaba', Nuqaba', Awtad, Akhyar, Jin, dan Malaikah. Bahkan jikalau ada kecelakan yang terjadi, mereka yang namanya sudah dituliskan akan berada dimasa itu, mereka akan selamat.

Mereka akan memahami makna rahasia dari Laa ilaaha illAllah, Muhammadur Rasuulullaah. Saat Mahdi 'alayhissalam datang, pertama-tama beliau akan mengajarkan rahasia kalimah Laa ilaaha illAllah, yang menjelaskan rahasia Keesaan yang Nabi Muhammad sallAllahu 'alayhi wasallam telah alami selama Mi'raj (kenaikan) beliau, Mahdi akan menjabarkan setetes dari rahasia itu.

Lalu, Mahdi 'alayhissalam akan menjelaskan rahasi Muhammadur Rasuulullah, yang merupakan rahasia dari Ittiba' (mengikuti), melalui Qur'an Suci dan Shari'atun Nabiy sallAllahu 'alayhi wasallam.

Ketika rahasia-rahasia ini dibukakan, hati/qalbu manusia akan gembira karena Getaran Surgawi ini bahwa mereka akan berada di Hadirat Sayyidina Mahdi 'alayhissalam menunggang kuda, terbang dan bergerak dalam Maqomut Thayy (Maqam Melipat Ruang dan Waktu).

Setelah memahami Keesaan dan Keunikan Allah SWT, maka tidak akan ada lagi syirk. Bahkan kini, saat kita mengucap Laa ilaaha illallaah, masih ada syirk tersembunyi bersama kita, inilah yang Nabi sallAllahu 'alayhi wasallam kuatirkan tentang syirk tersembunyi bersama Ummah beliau. Namun, pada masa itu ketika was Mahdi 'alayhissalam buka, maka syirk tersembunyi ini akan hilang.
"Alaa bidiinillahi ad-Diinul Khaalis"

"……dengan agama Allah yang merupakan Agama Murni."

Ketika ini dibukakan, orang-orang akan melihat diri mereka terbang diangkasa keMahdi 'alayhissalam, yang akan muncul di Syam (Damaskus dan sekitarnya). Mahdi akan menyingkirkan Anti Kristus, membawa pergi kegelapan dari Bumi.

Kuda yang dimaksudkan bukanlah kuda biasa, ini adalah Kuda Surgawi. Kuda itu bergerak dengan gerakan Surgawi dan tiap gerakan menuju Horizon; sampai tiba di hadirat Sayyidina Mahdi 'alayhissalam. Beliau akan menyerukan semua orang untuk menyingkirkan kegelapan dengan damai, tidak membutuhkan senjata, hanya Kecintaan kepada Allah SWT. Mahdi akan bergerak mengambil Amanat sang Nabi sallAllahu 'alayhi wasallam, yaitu Jubbah, Surban, dan bendera sang Nabi sallAllahu 'alayhi wasallam. Pada saat itu beliau akan diperintahkan untuk memerangi Anti-Messiah. Awliyaullah sedang bersiap-siap untuk waktu tersebut.

Semoga Allah memberkahimu dan memberikan kau hidup yang panjang untuk melihatnya.

Bihurmatil Habib, Al-Faatihah!

ORIENTALIS MENCARI GURU SEJATI

Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani ar-Rabbani
Dari Buku The Key to Divine Kingdom


Bismillah hirRohman nirRohim

Seorang Orientalis datang menemui Grandshaykh Abdullah
dan berkata, “Aku telah mempertimbangkan semua
agama-agama – Budha, Hindu, Yahudi, Kristen, bahkan
Islam. Dan apapun juga aku tanyakan mengenai suatu
agama untuk mencukupi minatku, namun yang aku dapatkan
hanyalah perasaan hampa. Tidak ada apapun yang
memuaskanku. Aku telah menempuh perjalanan keliling
dunia untuk menemukan jawaban. Dan siapapun aku tanya,
tapi aku pikir aku mengetahui lebih banyak dari orang
yang aku tanya itu. Dimasa kecil aku melakukan segala
macam pelanggaran yang bisa kamu bayangkan, tetapi aku
kemudian merasa rindu akan suatu kebenaran, maka
akupun menjadi seorang yang tulus hati dan saleh”.

Tak ada seorangpun yang bisa memuaskan rasa ingin
tahunya, karena dia adalah seorang sarjana /
cendikiawan. Akhirnya, dia berkata, “Kini untuk yang
terakhir kalinya, aku akan mencoba Islam, untuk
melihat apakah aku bisa lepas dari ini semua”. Maka
diapun memulai perjalanannya dari satu negara ke
negara lainnya – Pakistan, India, Negara-negara Timur
Tengah, dan seluruh Negara Eropa, menanyakan apa yang
harus dia lakukan untuk menjadi orang Islam. Mereka
menceritakan kepadanya hanyalah kewajiban secara
fisik, lima tiang agama yaitu mengucapkan shahadat
(deklarasi telah beriman), sholat, berpuasa sepanjang
bulan Ramadhan, membayar zakat dan menunaikan ibadah
haji. Dan diatas semua itu adalah sunah!

Dia berkata, “Islam meminta terlalu banyak! Di agama
Kristen, mereka hanyak memintaku untuk berdoa pada
hari Minggu! Sedangkan kamu memintaku untuk sholat
lima kali dalam satu hari. Juga, ketika aku memiliki
uang berjuta-juta dollar didalam rekening bankku, aku
diminta untuk membayar 2.5% dari uang itu? Apa ini?”
Dia telah mempelajari Islam secara mendalam, dan
akhirnya menjadi seorang ahli tentang agama Islam,
namun tetap saja dia tidak yakin akan Islam. Dia
berkata, “Aku masih memegang udara – bukannya memegang
tali untuk memanjat – aku butuh sebuah tali”.

Sekarang pertimbangkan ayat Al Quran yang mengatakan,
“Berpegangteguhlah pada tali Allah SWT.” 2 Pada hukum
Islam (fiqh), “perpanjangan tali” adalah Muhammad SAW.
Beliau adalah nabi yang membawa kalian ke Hadirat
Allah. Pada akhirnya, seseorang menceritakan kepadanya
tentang Grandsyaikh Abdullah dan Mawlana Syaikh Nazim.
Lalu dia pergi mencari mereka dengan menempuh
perjalanan menuju tempat dimana mereka tinggal. Ketika
dia tiba, dia memanggil mereka, “Ya Sayyidi ….” Itu
adalah wujud dari rasa hormatnya kepada mereka. Islam
mengajarkan rasa hormat. Dia telah mempelajari
disiplin atau adab Islam sebagai seorang Orientalis.
Sayangnya orang-orang kita – para Muslim sekarang ini
– tidak mengetahui adab. Mereka tidak akan memanggil
kalian, “Pak!” Lalu, mereka memanggil kalian apa?
“Saudara”.

Itu adalah cara Wahhabi. Atau “Teman.” Perkataan,
“Sesungguhnya orang-orang Islam itu bersaudara.” Ya,
Tuhan telah berfirman, Orang-orang Islam adalah
bersaudara”, itu benar. Tetapi ada tingkatan yang
berbeda dalam persaudaraan. Sekarang ini, jika
seseorang berusia 15 tahun datang ke mesjid dan
bertemu dengan orang yang lebih tua 70, 80, atau 90
tahun, dia tetap akan menyapa orang tua itu, “Hallo,
saudara” atau “As-salaamualakum, saudara.” Ini
bukanlah adab ataupun rasa hormat. Seharusnya dia
menyapa dengan “Assalamu 'alaykum wahai Orangtuaku”,
“Assalamu alaykum Bapak”. Orientalis bertemu
Grandshyaikh Abdullah Faiz ( alm ) Lalu orientalis itu
mendekati Grandsyaikh dan berkata, “Kini aku datang
menemuimu karena aku telah mendengar cerita
tentangmu.” Kedua-duanya Grandsyaikh Abdullah dan
Mawlana Syaikh Nazim ada disana.

Mawlana Syaikh Nazim menunggu dan Grandsyaikh
bertanya, “Apa pertanyaanmu?” Orientalis berkata, “Aku
tidak puas. Aku tidak bisa menemukan jati diriku. Aku
ingin suatu kebenaran. Aku telah belajar semua agama,
termasuk Islam. Aku bertanya pada setiap cendikiawan,
aku merasa bahwa aku mengetahui lebih banyak daripada
mereka – bahkan secara lebih terinci mengenai agama.
Tetapi aku tidak merasa puas. Aku bisa memberi ceramah
tentang Islam, namun aku tidak merasakan bahwa aku
sedang memegang sesuatu apapun kecuali udara.”
Grandsyaikh berkata, “Oh anakku. Kamu harus mengetahui
tiga hal untuk mampu memahami kenyataan ini, dengan
demikian kamu dapat dipandu menuju kepuasan dan
kebahagiaanmu.”

Benih “Pertama, jika kamu mengambil satu benih dari
satu pohon buah-buahan dan ditaruh pada sebuah rak,
dan didiamkan di rak itu selama bertahun-tahun tanpa
kehidupan. Benih tersebut tetap akan berada disana.
Itu berarti, apapun yang kamu lakukan dikehidupanmu –
apapun yang terjadi dan kemanapun kamu pergi – kamu
tetap masih sama – terikat dengan dunia ini. Tetap
memiliki satu benih namun tanpa sebuah perubahan.
Tetapi ketika tiba waktunya untuk menanam benih itu,
kamu mengambilnya dan menanamnya dibawah tanah,
memutuskan sepenuhnya dari dunia luar. Kamu sirami dia
selama 40 hari.9 Dia akan mulai tumbuh. Kemudian,
ketika dia telah tumbuh, kamu tidak akan bisa
menemukan benih itu lagi sekalipun kamu menggalinya –
dia telah hilang, berubah kedalam satu kehidupan yang
baru.

Pohon itu akan tumbuh penuh keberhasilan, memberi
manfaat, makanan dan kenikmatan untuk orang-orang.”
Orientalis itu cerdas dan dia memahami apa yang Syaikh
katakan. Namun dia juga sangat angkuh, dan kini dia
mendapat pukulan telak. “Kamu harus mengubur
keangkuhanmu. Ketika setan datang dengan
keangkuhannya, dia diusir. Adam AS datang tanpa
keangkuhannya, maka dia dibawa masuk. Ada orang-orang
yang selama hidup mereka datang pada saat-saat yang
penting – Tuhan memilih mereka dan membuat mereka
menerima inspirasi/ilham dan untuk dunia “bersaksi dan
melihat”.10 Jika kamu diwarisi visi-visi/ilham ini,
kamu harus fokus pada visi-visi ini, mereka tidak bisa
dibuyarkan dan kurang fokus. Cobalah berkonsentrasi
pada kekuatan itu – menajamkan visimu. Fokus, kekuatan
bisa menyembuhkan orang-orang. Para Penyembuh
tersembunyi dimana-mana.

Tuhan memilih orang saleh/wali sebagai penyembuh,
tetapi tidak semua orang bisa menjadi seorang
saleh/wali. Kamu mungkin mempunyai ijin untuk memimpin
zikir11 atas nama Syaikh, atau ijin untuk berbicara
atas nama syaikh – tetapi kamu bukanlah syaikh
tersebut. Seorang penyembuh adalah seseorang yang
memiliki kekuatan untuk penyembuhan dalam arti secara
spiritual. Mereka mampu untuk menyembuhkan dari jarak
jauh – itu merupakan salah satu dari enam realitas
spiritual/rohani. Seberkas cahaya yang terfokus Ada
satu kenyataan spiritual dimana orang-orang saleh/wali
memiliki kekuatan penyembuhan yang bila diarahkan
kepada seseorang maka akan mempengaruhinya. 12 Hal ini
mungkin saja terjadi dengan mengarahkan kekuatan atau
tenaga seperti sebuah cahaya laser spiritual, bahkan
dari Amerika kepada seseorang yang berada di Cina.

Melalui komunikasi hati/spiritual ini kamu bisa
menjangkau dan menyembuhkan seseorang. Tetapi bila
energi ini tidak terpusatkan maka energi itu tidak
mempunyai efek atau dampak apapun. Seperti perbedaan
antara seberkas cahaya yang terpusatkan dan seberkas
cahaya yang tersebar. Seberkas cahaya yang terpusatkan
akan terpancar lebih jauh, sama seperti cahaya mercu
suar. Tanpa fokus, kamu melompat dari satu persoalan
ke persoalan yang lainnya, dan orang-orang berpikir
kamu gila. Jika kamu berbicara dari Timur kemudian ke
Barat, lalu ke Selatan kemudian ke Utara, orang-orang
berkata, “Aduh! Orang ini mabuk. Bawa dia ke rumah
sakit jiwa. Dia cacat. Rawat dia.”

Padahal orang ini tahu bahwa hal itu tidaklah benar,
dia tidak sakit, tetapi lebih cenderung sedang
mengalami hal yang berbeda-beda. Fokusmu harus terus
dipusatkan untuk meningkat, hingga fokusmu menjadi
sangat tajam atau jelas dan dapat fokus pada satu hal
diwaktu yang bersamaan, hingga kamu dapat mencapai
koneksi ‘digital’ bukannya ‘analog’. Dengan koneksi
‘digital’ kamu bisa fokus pada beberapa hal di waktu
yang bersamaan. Digital adalah untuk para guru. Kamu
tidak mempunyai gelar guru, atau sarjana. Kamu mungkin
mengalami berbagai hal, tetapi kamu harus meningkat
hingga mencapai keahlian, setelah itu kamu bisa
mendapatkan koneksi digital. Para guru ahli bisa
menjangkau setiap orang melalui kekuatannya Sayyidina
Muhammad SAW. Seperti yang difirmankan oleh Allah SWT
di kitab suci Al Qur’an, “Ketahuilah bahwa Utusan
Allah itu ada didalam dirimu” Tuhan tidak mengatakan
“Ketahuilah bahwa Utusan Allah ada bersamamu,” atau
”diantara kamu.” Ini merujuk pada suatu kebenaran
bahwa para guru mewarisinya dari Nabi SAW

Sebutir Telur

Orientalis mendengarkan, dan dia bertanya, “Lalu apa
yang harus aku lakukan?” Grandsyaikh berkata,
“Menunggu.” Lalu dia berkata, “Jika kamu mengambil
sebutir telur ayam atau hewan lainnya, lalu kamu
letakan telur itu pada sebuah rak, dan seterusnya
berada di rak itu, maka kemungkinan telur itu menjadi
busuk jika tetap ada di rak itu, karena kamu tidak
meningkatkannya. Meningkat berarti berguna bagi
orang-orang. Jika kamu tidak bisa membuat dirimu
berguna, maka pada akhirnya kamu akan menjadi tidak
baik – kemudian hidupmu menjadi tidak berharga. Dan
jika kamu meletakan telur itu dibawah seekor induk
ayam, kamu akan menemukan suatu kehidupan baru
menghampirimu. Telur itu dierami oleh induk ayam
selama 21 hari – tidak lebih satu hari atau kurang
satu hari. Telur itu benar-benar diputuskan dari dunia
luar.

Telur itu berada dalam pingitan sama halnya dengan
benih tadi. Lalu, apa yang terjadi? Telur menetas dan
seekor anak ayam muncul. Tetapi ini akan menjadi
kehidupan surgawi baru bagi si anak ayam. Dia telah
diberi kehidupan surgawi disana. Kamu merupakan suatu
cabang cahaya surgawi dan kehidupan surgawi. Kamu akan
memiliki penjelmaan dari Nama dan Atribut/Sifat Tuhan
yang dipakaikan kepadamu ketika kamu “bersembunyi”
setelah memberi manfaat bagi orang lain.Perhatikan
akal sehat Grandsyaikh. Dia tidak membantah atas
agama. Dia tidak mengatakan, “Tidak, ini baik, ini
lebih baik, ini tidak baik, ini tidak jelek, Yahudi
jelek, Kristen baik, yang ini tidak baik, yang ini
baik.” Tidak. Dia menggunakan akal sehat untuk
memikirkan hal tersebut.

Kandungan/Rahim Kemudian Grandsyaikh berkata, “Seorang
bayi berasal dari setetes air mani (sperma) dan satu
sel telur. Segala puja dan puji untuk Allah SWT. 15
Jika kita memasuki ilmu pengetahuan sedikit, hanya
sedikit lebih jauh. Seorang pria menghasilkan 500 juta
hingga 600 juta sperma saat dia bersetubuh dengan
istrinya. Dari 600 juta sperma, hanya ada satu yang
menempel pada satu sel telur” Para wanita biasanya
menghasilkan kurang dari 10 sel telur. Ilmuwan telah
menemukan bahwa struktur dasar sel-sel gen pria bisa
mencapai 30 atau 40. sedangkan para wanita mencapai
150 lebih didalam sel telur. Oleh karena itu walaupun
seorang pria menghasilkan banyak bahan dasar keturunan
pada satu sperma yaitu berkisar satu-kelima dari yang
dihasilkan oleh sel telur seorang wanita.

Para ilmuwan menemukan banyak rahasia melalui genetika
atau keturunan. Setiap bahan dasar terdiri dari 23
protein yang berbeda. Dan setiap protein memiliki
lebih dari 150 juta sel. Pada hal ini, kamu dapat
melihat Kebesaran Allah SWT. Berikutnya Grandsyaikh
berkata bahwa ketika ibu sedang hamil, anak akan
tinggal didalam rahimnya selama 9 bulan 10 hari,
memutuskan sepenuhnya dari dunia – bersembunyi.
Dewasa, tumbuh berkembang, pasrah kepada Tuhan – tidak
meminta ketentuan atau perbekalan. Tuhan menyediakan
itu semua. Siapapun yang memelihara suatu kesadaran
akan Allah SWT,16 akan tetap berada pada jalur
ketulusan, Tuhan akan membuat untuknya suatu pembukaan
atau pencerahan (didalam bisnis, uang, kekayaan,
suami, istri, dan segala sesuatunya), dan Dia akan
menyediakan ketentuan/bekal dari setiap arah, tanpa
perhitungan.

Seorang anak secara alami adalah seorang yang murni.
Karena itulah mengapa Nabi SAW bersabda, “Manusia
dilahirkan tanpa dosa atau polos.” Di Islam, kepolosan
berarti murni, bersih tanpa dosa. Seorang bayi lahir
dalam keadaan polos dan murni, pasrah kepada Tuhan.
Tuhan yang menyediakan segala sesuatu untuknya, bahkan
ketika dia didalam kandungan ibunya. Lihatlah pada
telur yang dierami oleh induknya – itu hanyalah
sebutir telur. Tidak ada koneksi/saluran antara induk
dan telur. Apa yang dimakan anak ayam? Dia berasal
dari kuning telur, dia memakan putih telur. Dan mereka
berkata tidak ada sang Pencipta! Lalu, apa yang
dimakan oleh anak ayam? Didalam kandungan seorang ibu,
ada satu tali yang memberi makanan kepada bayi –
bahkan didalam kandungan bayi itu tidak menghirup
udara! Dan telur tidak terhubungkan dengan induk ayam,
kecuali melalui kehangatan yang diberikan induk ayam
kepada telur. Dan jika tidak ada ayam jago, tidak ada
manfaat pada telur itu. Apa yang dilakukan ayam jago
pada ayam betina? Tidak ada! Dia hanya melompat keatas
kepala.

Apa yang dilakukannya? Tidak ada, pergi dan lihatlah
sendiri. Tuhan sedang memberi kita suatu tanda. Tuhan
berfirman didalam Al Qur’an yang suci, “Kami akan
memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di
horison”17. Yang berarti, itu adalah pengetahuan untuk
masa depan, bukan untuk masa ketika Nabi SAW hidup.
Nabi SAW meramalkan ilmu pengetahuan masa kini untuk
para Sahabat. Pada masa itu, mereka tidak memahami
ilmu pengetahuan ini. Tetapi saat ini, jika kamu
melihat pada hadist Nabi SAW dan kitab suci Al Qur’an,
kamu melihat itu semua mengacu pada isu-isu ilmu
pengetahuan ini. Lalu, apa yang dilakukan ayam jago?
Dia melompat dan mematuk, menghasilkan beberapa hormon
pada ayam betina. Hormon itu memberi kehidupan; yang
masuk kedalam telur.Benih mati! Benih itu tergeletak
begitu saja di rak tanpa ada kehidupan. Mereka menjual
benih di depot tanaman – pergilah kesana dan beli
beberapa benih. Benih-benih itu ada dalam kemasan,
bermacam benih yang berbeda – tanpa kehidupan! Tidak
ada! Tetapi Allah memberi mereka air kehidupan – “Kami
jadikan segala sesuatu yang hidup dari air” 18 Mereka
hidup dengan air.

Wa min Allah at Tawfiq

Selasa, 02 Desember 2008



Perantaraan Sayyida Fatimah R.A

Mawlana Syaikh Muhammad Hisham Kabbani ar-Rabbani q.s.
24 September 2006


A`udzu billahi min asy-shaytaan ir-rajiim Bismillahi 'r-Rahmani 'r-Rahiim Nawaytu'l-arba`iin, nawaytu'l-`itikaaf, nawaytu'l-khalwah, nawaytu'l-riyaada, nawaytu's-suluuk, nawaytu'l-`uzlah lillahi ta`ala fii hadza'l-masjid

Ati` Allah wa ati` ar-Rasula wa uli 'l-amri minkum Di pertemuan sebelumnya kita mendiskusikan mengenai pernikahan Sayyidina 'Ali (r) dengan Sayyida Fatima (r) az-Zahra. Dan kita mengetahui bahwa Allah menciptakan seluruh alam semesta demi Sayyidina Muhammad (saw). law laka, law laka ma khalaqta al-aflaak. "Jika bukan karenamu, [Wahai Muhammad (saw)], Aku tidak akan menciptakan tubuh surgawi." Apapun yang Nabi (saw) inginkan, akan diberikan. Allah tidak pernah menolak permintaan Nabi (saw). Beliau (Nabi) tidak pernah berbicara kecuali wahyu yang diletakkan dilidahnya, ma yantiqa `an il-hawa in huwa illa wahyun yuha. "dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)" [An Najm 53:3-4]

Dengan segala keberkahan itu beliau menanyakan kepada anak perempuannya apakah dia akan menikahi 'Umar (r), ataukah Sayyidina `Ali (r). Meskipun Nabi (saw) mengetahui hal yang sebenarnya dan berhak memerintah kepada anak perempuannya karena segala perkataan beliau adalah wahyu, namun beliau tetap memberikan pilihan kepada Sayyida Fatima (r) az-Zahra. Grandsyekh berkata bahwa saat ini banyak orang tua yang memaksakan anak-anak perempuan mereka untuk menikah demi segenggam uang dan bila mereka menolak, maka mereka akan dipukuli. Beliau adalah mukaarim al-akhlaq, beliau tidak perlu memerintah/menyuruh, itulah adab yang baik, meskipun beliau dapat menyuruh anak perempuan beliau untuk menikah, namun beliau memilih bertanya,"Apakah engkau ingin menikah dengan Sayyidina `Ali (r)?" ? Dan Sayyida Fatima (r) az-Zahra menjawab,"Tidak." Dan kita sudah membahas ini dalam sesi sebelumnya. Tetapi Grandsyekh memberikan hikmah tersembunyi dari cerita ini. Ketika Sayyida Fatima (r) az-Zahra menjawab,"Tidak" mendengar jawaban ini muka Nabi (saw) memerah. Karena beliau pikir, ini point yang sangat penting dalam hal untuk mengajari kita dan memastikan kalian memahami poin ini. Muka beliau memerah, beliau malu. Beliau menyangka bahwa Sayyida Fatima (r) az-Zahra menolak menikah dengan Sayyidina `Ali (r) karena Allah memberikan Sayyidina `Ali (r) alis mata yang lebat dan panjang dan kedua alisnya seperti saling bertautan. Sayyidina `Ali (r) dikenal sangat kuat dan ketika sedang berkelahi dengan lawannya, beliau mengeluarkan banyak keringat dan alis matanya menahan keringat yang berjatuhan dari kening beliau seperti sesuatu yang mengumpulkan hujan dan mengalirkan keringat beliau ke samping muka. Dan Nabi (saw) berpikir karena keadaan Sayyidina `Ali (r) yang seperti itu maka Sayyida Fatima (r) az-Zahra lebih menyukai Sayyidina `Umar (r) yang memang lebih tampan.

Inilah point yang dimaksud dan tidak ditujukan bagi Nabi (saw), karena Nabi (saw) telah mengetahuinya. Kita katakan bahwa Nabi (saw) mengetahui segalanya dan ada pula yang mengatakan bahwa awliyaullah mengetahui segalanya. Jangan katakan,"Syekh mengetahui segalanya." Grandsyekh memberikan sebuah contoh jikalau Allah menginginkan NabiNya (saw) mengetahui segalanya maka terjadilah, Nabi (saw) akan mengetahui segalanya. Dan Allah pasti memberikan beliau ` uluum al-awwaliin wal-akhiriin. Tetap saja Grandsyekh mengajarkan kepada kita dengan memerahnya muka Nabi (saw) yang mengira Sayyida Fatima (r) az-Zahra lebih memilih Sayyidina `Umar (r) yang lebih rupawan.

Apabila Allah menghendaki seorang wali untuk mengetahui sesuatu [yang diwarisi sang wali dari samudera pengetahuan Nabi (saw)] maka dia akan mengetahuinya. Tetapi jikalau Allah tidak berkenan, maka pengetahuan itu akan diblok. Jadi, awliyaullah pun bisa saja mengalami ujian. Banyak manusia berpikir kalau mereka telah meraih tingkat spiritual tinggi. Setinggi apapun tingkatan spiritual yang kalian raih apabila Allah tidak berkenan kalian untuk mengetahui sesuatu, maka akan terjadi blok/batasan-batasan, Allah yang memberikan blok/batasan tersebut. Ini merupakan point yang penting. Karena semua orang berpikir mendapat sebuah inspirasi yang didengarnya melalui telinga; ini mungkin saja tidak benar.

Saya pernah mendiskusikan hal ini dengan seseorang, dan seperti yang kalian ketahui saat ini, ribuan e-mail datang dan ribuan kali telepon berdering kesemuanya melalui sebuah server yang akan memfilter mana yang benar, yang berarti dan yang tidak berarti. Mana yang bermasalah dan mana yang tidak bermasalah. Ada satu server besar untuk memfilter e-mail yang berdatangan tersebut. Telinga kita juga seperti ini, ribuan sinyal berdatangan. Kita harus dapat memfilternya. Jika tidak, maka semua sinyal akan tercampur aduk seperti sup. Sayyidina Adam (as) sebelumnya merupakan seorang Nabi yang bertempat tinggal di surga, kemudian apa yang terjadi? Fawaswasa lahuma asy-syaitanu liyubdiya lahuma ma wuuriya `anhuma min sawaatihima wa qaala maa nahakuma rabbukuma `an hadthihi asy-syajarati illa an takuuna malakayni aw takuuna mina alkhalidiina Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan setan berkata: "Tuhan kamu tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga)". [Al A'Raaf 7:20]

Setan datang dan membisikkan ke telinga mereka (Sayyidina Adam (as) dan istrinya) memberitahukan bahwa mereka salah dan mempermalukan diri sendiri. Setelah mereka mendengarkan bisikan itu apa yang terjadi? Semua bagian pribadi mereka tersingkap. Jadi, apa yang mereka lakukan? Mereka mulai mengambil dedaunan untuk menutupi diri mereka.

Jadi, jangan mengekspos diri kalian...kalian pikir yang datang kepada kalian benar adanya, Allah telah memberitahukan mereka (Sayyidina Adam (as) dan istrinya) untuk tidak memakan buah dari pohon tersebut, karena Allah tidak menginginkan keduanya menjadi 2 malaikat yang akan hidup selamanya. Mereka mencampur adukkan antara inspirasi yang sebenarnya (dari Allah) dengan (bisikan) dari Iblis dan mereka tidak memfilternya. Kemudian apa yang terjadi? Mereka turun ke bumi. Jadi, apabila datang sesuatu -inspirasi/bisikan- jangan lantas berkata "Inilah kebenaran." Cobalah untuk memfilternya. Cobalah untuk memperjelas agar kita tidak melakukan sesuatu kesalahan perlu adanya dilakukan pengecekan terhadap apa yang kita terima. Jadi, Grandsyekh berkata bahwa terkadang manusia tidak memiliki pengetahuan yang cukup dan akan bingung. Jadi, apa yang harus kita lakukan? Letakkanlah di mizan, hukum Syariah dan pertanyakan apakah hal tersebut dapat diterima dalam hukum Syariah atau tidak. Grandsyekh berkata jika kalian pikir hal itu tidak dapat diterima, maka tinggalkanlah karena hal tersebut hanyalah sebuah bisikan bukan suatu inspirasi. Karena inilah kita harus berhati-hari dengan apapun yang datang dari telinga kita..

Grandshaykh, semoga Allah merahmati beliau, pernah bercerita tentang seorang wali yang berkata,"Ya Rabbii, saya tidak suka dengan malaikat-malaikatMu." Awliyaullah memang seperti itu. Mereka dalam keadaaan hal, ekstasi. Beliau berkata,"Saya tidak suka dengan malaikat-malaikatMu. Saya tidak menerima mereka; semua malaikat." Allah berkata,"Mengapa engkau tidak menerima mereka? Mereka malaikatKu." Artinya ,"Kau akan masuk ke dalam api neraka." Sang wali menjawab,"Saya akan pergi ke api neraka, tapi saya tidak menerima mereka." Inspirasi datang ke dalam hatinya, bahwa dia akan masuk ke dalam api neraka. Sang wali berkata,"Saya lebih baik masuk ke dalam api neraka daripada menerima mereka." Kemudian Allah bertanya,"Mengapa?" Para awliyaullah memiliki hatif, kita menyebutnya sebagai telepon surgawi, sambung langsung surgawi sehingga awliyaullah dapat mendengar. Bukan berarti awliyaullah dapat mendengar secara langsung namun mendengar tetapi mereka mendengar Kehadirat Illahi melalui para malaikat. Tapi sang wali tidak mau menerima hal ini, walaupun dia mendengar melalui para malaikat. Sang wali berkata,"Kirimkan saya ke dalam api neraka, saya lebih bahagia berada disana daripada duduk bersama mereka (malaikat)." Allah bertanya,"Mengapa" Sang wali menjawab," Karena ya Rabbii ketika Engkau memerintahkan mereka sesuatu, mereka malah mengkritik dan mengeluh." Dia bertanya, "Apa yang mereka keluhkan?" Ya Rabbii, Engkau berfirman:Wa id qaala Rabbuka lil-malaikati innii ja`ilun fii al-ardi khaliifatan qaluu ataj`alu fiiha man yufsidu fiiha wa yasfiku ad-dimaa wanahnu nusabbihu bihamdika wa nuqaddisu laka qala innii a`lamu ma la ta`lamuuna Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". [Al Baqarah 2:30]

Wali ini berkata diatas lidah Grandsyekh. Perhatikanlah awliyaullah begitu banyak pengetahuan yang mereka tahu. "Engkau berfirman, ya Rabbii, 'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.' Mereka berkata, 'Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?'" Artinya para malaikat menentang perkataan Allah. Mereka harus berkata (ada yang berkata sami`na wa ata`na sehingga Mawlana membenarkannya .pent),"Benar, sami`na wa ata`na." Allah berkata,"Aku lebih tahu daripada kamu." Karena para malaikat berbuat seperti itu, apakah yang Allah lakukan? Dia mengajari Adam (as) semua Nama. Wa `allama adama al-asmaa kullaha thumma `aradahum `ala al-malaikati faqaala anbiuunii biasmai haulai in kuntum saadiqiin Qaaluu subhanaka la `ilma lana illa ma `allamtana innaka anta al-`aliimu al-hakiim. Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Telah Engkau ajarkan kepada Kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana." [Al Baqarah 2:31-32]. Karena perkataan para malaikat, Allah ingin memperlihatkan kepada mereka bahwa Adam (as) lebih terhormat dari mereka. Jadi, Allah mengajari Adam (as) nama-nama. Menurut kalian nama-nama apa? Nama saya dan kalian? Demi cahaya Sayyidina Muhammad (saw). Allah mengajari Sayyidina Adam (as) nama-nama, artinya Dia memberikan Sayyidina Adam (as) kesempatan meraih cahaya Sayyidina Muhammad (saw) yang ada di kening Sayyidina Adam (as) dan Dia mengajari nama setiap ciptaan yang Allah ciptakan dalam setiap kesempatan. Dia memerintahkan kepada malaikat,"Sebutkan nama-nama (benda-benda) seluruhnya." Para malaikat menjawab,"Kami tidak tahu." Dan kemudian Allah berkata kepada Sayyidina Adam (as) untuk menyebutkan nama-nama tersebut. Qaala ya adamu anbihum biasmaihim falamma anbaahum biasmaihim qaala alam aqul lakum innii a`lamu ghayba as-samawati wal-ardi wa a`lamu ma tubduuna wa maa kuntum taktumuun Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini". Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?" [Al Baqarah 2:33] Lalu wali berkata,"Itulah alasan saya tidak menyukai mereka, mereka tidak mendengar dan mematuhi Engkau."

Jadi awliya ini sangat dicintai Allah. Awliyaii tahta qibaabii laa y`alahum ghayrii. "Para awliyaKu berada dalam kubahKu, tidak ada yang mengetahui mereka kecuali Aku." Saya berkata kepada setiap orang, kecuali Nurjan, tapi terutama bagi seseorang yang dia tahu selalu berbicara kepada setiap orang. Jadi inspirasi harus difilter. Kalian tidak mengambil semuanya dan mulai berbicara (memberitahukan kepada orang lain .pent) Ketika kami masih muda, saya dan Shaykh Adnan, apapun yang Grandshaykh katakan kami terima bulat-bulat bisa dikatakan kami benar-benar menjadi buta, itulah yang benar. Sangat tergila-gila karena cinta. Kapanpun inspirasi atau bisikan datang ke telinga kami semuanya tercampur aduk, seperti sup. Bagitu tergila-gilanya kami sehingga menyebut Grandsyekh dalam berbicara dan mendo'akan beliau serta mengatakan sesuatu yang kadangkala melampaui batas. Atau ada suatu diskusi tentang suatu persoalan dan kami mengatakan begitu saja inspirasi yang datang kepada kami. Kami masih muda. Tergila-gila, kadangkala Grandsyekh berbicara secara pribadi dan kalian tidak dapat menyebarkan isi pembicaraan ini kepada yang tidak akan mengerti dimensi spiritual yang kalian katakan. ( Ada seseorang yang menyebarkan apa yang dia bicarakan dengan Grandsyekh secara pribadi .pent) Jadi, mereka menginginkan penjelasan sehingga mereka memanggil dia. Dan kami harus mengikut sertakan Grandsyekh yang akan mengawasi. Jadi, kalian harus sangat berhati-hati, Kadangkala persoalan spiritual diberikan kepada kalian dan kalian harus dapat mengemban beban itu. Kalian tidak bisa malah mengirim ke internet yang justru malah membuat suatu persoalan yang tidak ada gunanya.

Kita kembali ke cerita mengenai Sayyida Fatima (r) az-Zahra `alayha as-salaam yang pada Hari Perhitungan sebelum dimulai, beliau akan berkata,"Ya Rabbii, berikanlah mas kawin saya." Mas kawin beliau adalah seluruh Ummah. "atau pernikahan saya dengan Sayyidina `Ali (r) tidak lengkap." Jadi, Allah swt akan memberikan seluruh Ummah kepada Sayyida Fatima (r). Perhatikan untuk seorang wanita. Perhatikan bagaimana Allah menghormati Ahlul-Bayt. Dan menghormati wanita karena wanita adalah wanita dan pria adalah pria. Perhatikan Sayyida Fatima (r), bahkan sebelum menuju ke sirat. Grandshaykh berkata bahwa Allah akan memberlakukan keadilanNya. Manusia neraka akan masuk neraka dan manusia surga akan masuk surga. Dan Sayyida Fatima (r) akan memohon agar diberikan mas kawinnya. Hal tersebut terjadi sebelum perantaraan Nabi (saw). Satu wanita akan menyelamatkan mereka. Sekarang apakah kalian berharap Nabi (saw) menjadi perantara? Perantaraan beliau adalah untuk memakaikan seluruh Ummah dengan manifestasi pengampunan/belas kasihan yang datang pada Hari Perhitungan. Dengan adanya perantaraan dari Sayyida Fatima (r), mereka akan dibawa ke surga dan dengan perantaraan Nabi (saw) mereka akan naik ke tingkatan tertentu : alladziina an`ama Allahu `alayhim mina an-nabiyyiina was-siddiiqiina wasy-syuhadai was-saalihiina wa hasuna ula'ika rafiiqa Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. [An Nisaa' 4:69]. Wa min Allah at-tawfiq bi hurmatil Fatiha.


Kedatangan Sayyidina Mahdi a.s.

Mawlana Syaikh Muhammad Hisham Kabbani ArRabbani q.s.
22 Februari 2006, Oakland, Amerika Serikat


Sayyidina al-Mahdi telah disebutkan dalam sebanyak 40–50 hadits Nabi dan kesemuanya keasliannya terbukti bagi Sunni dan Syiah. Saya berbicara untuk sisi Sunni. Dan tidak ada yang dapat berdalih dari hadits-hadits tersebut karena keasliannya dan pada tahun 1980, ketika Mahdi yang salah muncul di Makkah dan mengambil alih al-Haram, orang-orang Hijazi mulai menanyakan tentang al-Mahdi dan bertanya kepada pemerintahan Saudi, “Anda tidak pernah memberitahukan kami tentang Mahdi.”

Bila kalian melihat Shahih Muslim, kalian akan menemukan banyak hadits tentang Mahdi juga dalam buku hadits Ibnu Majah dan Ibnu Dawud tapi tidak dalam hadits Shahih Bukhari. Jadi Muhammad Ali Sabouni menarik semua hadits tentang Mahdi, saya punya bukunya di Michigan. Saya mencantumkan banyak hadits dalam Approach of Armageddon dibagian akhirnya. Nabi berkata, “yakhruju waladin min awlaadi, yamla 'l-ardu qistan wa `adlan kama muliya dhulman wa jura”. Dalam hadits ini Nabi memberikan tanda-tanda tentang kemunculan Sayyidina Al Mahdi sebelum al-Masih Dajjal. Dan beliau memberikan pertanda bahwa sebagian besar tanda-tanda yang Nabi sebutkan telah bermunculan dan kalian dapat melihatnya pula di buku-buku hadits.

Ada pertanda terbesar sekarang, satu tanda yang akan secepatnya saya beritahukan, “sawfa tudiiu naar min ardi Najd yashra'ibu laha `anaaqu 'l-ibli bi-Basra.” And he pointed to the east and said, “hahuna tazhar al-zalaazilu wal fitan”, akan terjadi gempa bumi keempat dan kekacauan. Di timur Madina adalah Negara Iraq dan Najd, Basra. Dan ketika mereka meminta Nabi merahmati Najd, Nabi berkata, “O Allah rahmatilah Syam kami dan Yaman kami.” Mereka menambahkan Najd kami dan beliau berkata, “dari sana akan muncul dua buah tanduk setan dan akan terjadi gempa bumi dan kekacauan.”

Dan salah satu dari pertanda Hari Akhir adalah melihat telapak kaki telanjang bangsa Badui berkuasa dalam pembangunan banguna pencakar langit. Dan dimanakah sekarang bangunan pencakar langit tertinggi? Di Riyadh. Bangunan itu lebih besar dari World Trade Center, lebih besar dari 2 menara di Malaysia. Dan beliau bersabda yatataawaluuna fil bunyaan. Dan itulah mengapa kalian melihat �diantara 2 pangeran ini saling mengklaim bahwa gedung saya lebih tinggi. Semuanya terjadi dan Sayyidina Mahdi akan muncul. Ketika beliau muncul, pertama beliau akan bergerak dari Makkah ke Madinah. Ba'ait pertama dilakukan di Makkah dan dari Madinah beliau akan bertakbir dan setiap manusia akan mendengarnya. Dengan mengucap bismillahi dia bergerak menuju Syam, sebagaimana yang Nabi katakana, kayfa antum idha nazala ibn Maryam wa imaamukum minkum. "Akan menjadi apa kalian ketika 'Isa (as) keturunan ibn Maryam dan imam kalian ada ditengah-tengah kalian?"

Imam yang dimaksud adalah Sayyidina Mahdi, bukan imam yang mengenakan celana jeans dan ada disetiap masjid. Beliau dari garis 12 imam dan beliau akan muncul minaratun bayda di masjid al-Umawi. Beliau akan bertakbir disana dan dengan takbir itu akan menghentikan perang besar yang melanda seluruh dunia. Hal ini berdasarkan hadits sawfa taqtilu fi'ataan adheemataaan . Dua kubu besar akan berperang dalam sebuah perang yang amat besar.

Jika kalian membaca buku karangan Samuel Huntington bahwa pertentangan dalam peradaban merupakan sebuah ide pertentangan dan kita tidak tahu bagaimana mengakhirinya. Beliau akan muncul ditengah-tengah api dan mendorong rahasia itu keluar dan menghentikan semua dengan ucapan: Allahu Akbar, Allahu Akbar Allahu Akbar. Kemudian takbir kedua dengan Allahu Akbar, Allahu Akbar Allahu Akbar, Maka setiap orang beriman akan menemukan diri mereka di Damaskus bersama Mahdi.

Lalu takbir ketiga Allahu Akbar, Allahu Akbar Allahu Akbar , beliau akan mengumumkan bahwa kita harus pergi untuk melaksanakan amanaat Nabi (saw) di Istanbul dan mengambilnya (amanat berupa barang). Kemudian beliau akan mengumumkan bahwa Dajjal telah muncul dalam suatu daerah di gunung yang besar dekat Syam dan dikenal dengan Douma dan itulah hadd bahwa Dajjal tidak dapat melintasinya karena Sayyidina Jibril akan melebarkan sayapnya sehingga Dajjal tidak dapat melintasi perbatasan itu.

Ibu Maimoona Ahmed: Sewaktu saya di India, saya bermimpi bahwa anda akan memberikan pengumuman yang sangat penting dan seperti melihat ke layar televisi dimana ada pembawa acara yang memberitakan hal-hal yang terjadi.

Mawlana Syaikh Hisham: itulah jika Mawlana Shaykh mengabarkan sesuatu dan pada saat yang sama pengumuman akan datang dan akan diinformasikan kepada kalian. Tapi saya ingin menegaskan bahwa kita tidak perlu membawa senjata, jangan membawa pisau, Sayyidina Mahdi datang tanpa membawa apapun, beliau tidak membawa senjata, hanya bersenjatakan Allahu Akbar, dan memotong semua. Jadi, pastikan bahwa kalian tidak perlu membawa pisau. Tidak pernah saya membawa sebuah pisau, memang ada Sunnah untuk membawa sebuah pisau, tapi pastikan juga bahwa ego kalian tidak terbawa. Mawlana Shaykh Nazim membawa sebuah pisau tapi kini dia tidak membawanya lagi. Tapi pisau beliau bukan pisau besar tapi pisau yang kecil.